Chapter 2: Demi Cincin
Malam itu Naira tidak melukis, seberapa ingin pun tangannya meraih kuas. Sebab, setiap kali matanya melirik Sang Pemanah Mimpi, hatinya seperti lemas. Lukisannya yang seminggu lalu dipajang dalam pameran, hari itu dikembalikan. Dengan perasaan kosong Naira menerimanya. Dikembalikan berarti tidak laku, dan itu juga berarti dia tidak mendapat uang satu rupiah pun untuk menebus cincin yang digadaikan. Kepalanya mulai dipenuhi beragam kemungkinan, ketakutannya membuat perempuan itu seperti tidak bisa berpikir lebih jauh.
Dipandanginya lamat-lamat lukisan yang kini sudah terpajang di dinding kamarnya. Barangkali benar yang diucapkan ibunya bertahun-tahun lalu, lukisannya memang tidak punya nilai apa-apa untuk dijual. Dirinya memang sama sekali tidak punya bakat seni yang selama ini dikiranya sudah mendarah daging dalam dirinya. Disangkal seperti apapun, perasaan kerdil itu seperti menelannya. Perempuan itu seolah tersadar bahwa dia hanya sedang beruntung kala itu, kini keberuntungan itu tidak bisa diperpanjang. Naira tersedu di pojok kamarnya yang temaram.
Kesia-siaan belaka apa yang diputuskannya waktu itu, pikirnya. Dia harus mengambil jeda dari membuang-buang cat dan kanvas, jika pada akhirnya lukisan-lukisan itu hanya akan menjadi penghuni abadi kamarnya. Setelah kejadian ini, Naira memiliki pandangan berbeda tentang lukisan-lukisannya. Setidaknya, paling sedikit, dalam sebulan dia harus berhasil menjual satu lukisan itu. Titik. Maka itu berarti dia tidak akan melukis sebelum salah satu dari mereka beranjak dan menciptakan ruang untuk sebuah lukisan baru.
Naira sudah memutuskan, dia akan hiatus untuk jangka yang tidak dapat ditentukan.
Sementara itu, di tempat berbeda, dua anggota komunitas Lingkar Seni sedang antusias membicarakan pencapaian Naira dengan lukisannya yang diulas kurator andal. Ulasannya dimuat di suatu blog khusus yang kerap membahas segala hal tentang dunia seni. Hampir seluruh karya yang dipajang di Artweek mendapat ulasan yang positif, dan karya Naira adalah salah satunya. Menjadi suatu kebanggaan untuk Dante, ketua komunitas Lingkar Seni yang mendapati bahwa komunitas binaannya disebut dalam ulasan di blog itu. Bagi anggota komunitas Lingkar Seni, Naira seperti tengah menjadi bintang yang cemerlang. Tanpa mereka tahu, bahwa gadis itu tengah dikeroyok ribuan rasa bersalah yang menggerogoti dadanya.
"Harusnya lukisan Naira dilirik kurator, dia punya value buat itu." Dante berujar pada Gian.
"Gue pikir juga begitu, harusnya," ucap Gian.
"Masalahnya, belum ada kabar apa-apa dari Naira tentang apakah lukisan dia dilirik atau enggak." Dante menatap lawan bicaranya penuh arti.
Gian mengembuskan asap rokok ke udara. "Tapi, gue rasa, buat Naira hal-hal kayak gitu enggak termasuk penting. Dia pasti enggak peduli apakah lukisannya laku apa kaga. Lo masih ingat, kan, seberapa cueknya dia setiap kali ada event? Gue melihat dia sebagai seniman paling apatis soal itu, dan kita sebagai teman yang udah bareng-bareng selama ini sama dia, masih belum ngerti alasan di balik sikapnya yang begitu."
"Kalau menurut gue, kali ini ada yang beda dari Naira. Entahlah, gue cuma merasa kalau sebenarnya momentum ini udah dari lama dia idam-idamkan. Enggak menutup kemungkinan kalau dia pengen lukisannya laku, kan?" Dante menopang dagunya, menatap serius ke arah Gian yang sibuk dengan sebatang rokok.
Dua pemuda itu seakan tidak pernah kehabisan topik bicara setiap kali bertemu. Mereka gemar sekali menggali pikiran lawan bicaranya secara mendalam, terkait apa saja. Termasuk perihal Naira yang tidak kunjung berkabar tentang progres pamerannya.
"Menurut lo, pertimbangan apa yang bikin kurator enggak mau ambil lukisan cewek itu? Ini cuma misal, misal lukisannya emang enggak laku." tanya Gian setelah memutar puntung rokoknya di atas asbak.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAROMAH: Kisah Para Pendosa yang Dimuliakan #ACR_2024
SpiritualKarya ini berisi antologi cerbung yang dikurasi oleh Remember Me dari para pengarang berbakat.