Tanganku bergetar ketika melihat pak Wisang datang dengan memakai jaket hitam dibadannya. Aku masih shock saat kami bertemu di loby setelah tadi aku menelfonnya soal kabar yang ku terima.
"Ayo berangkat. Saya bawa supir, kamu jangan khawatir"
"Tapi tugas besok bagaimana Pak? Saya gak enak pergi begitu saja"
"Saya sudah kontak Polim kalau kita ke Jakarta ada urusan mendadak"
Walaupun ragu, akhirnya aku mengikuti dia menuju mobil MPV yang sudah terparkir di loby hotel.
Kami berdua duduk di belakang supir dan membuatku sudah tidak bisa mengelak lagi. Biarlah, tokh kami ada supir juga di depan.
Netraku menerawang menatap jalanan yang hitam pekat saat ini. Kabar yang ku terima tadi membuatku cukup shock karena khawatir dan juga malu pada saat bersamaan.
Bang Fawaz dan Cyntia, kecelakaan tunggal di tol dalam kota satu jam lalu. Kondisi mereka berdua parah karena mobil dalam kecepatan tinggi saat terjadi.
Aku tak bisa membayangkan apa penyebabnya. Apakah bang Fawaz mabuk ataukah sedang lalai saat berkendara, entahlah.
Pak Wisang sendiri sudah dihubungi Pak Dhenya alias ayah Cyntia kalau sepupunya itu kecelakaan. Dan kondisi yang ku dengar dari pak Wisang adalah Bu Cyntia koma dan cukup parah. Bang Fawaz sendiri katanya sudah sadar walau kondisinya sama parah.
Hiks, entahlah. Aku harus berduka atau bersyukur atas kecelakaan ini. Kasian juga bang fawaz kecelakaan dalam keadaan buruk bersama perempuan lain hampir tengah malam. Apa kata orang? Apa kata keluargaku?
Sepanjang perjalanan ku lihat pak Wisang tidur lelap berbeda denganku yang terus berjaga. Rasanya mata ini sulit sekali tidur ya.
Sesekali aku membuka gawaiku dan membuka beberapa platform online. Tidak ada yang menarik sama sekali.
Hingga aku menemukan sebuah berita kecelakaan anak salah satu pengusaha terkenal Indonesia di sebuah jalan tol dalam kota bersama dengan pasangannya. Duh, jangan sampai ini jadi berita ramai, aib kan sebenarnya?
Abang, nasi sudah jadi menjadi bubur ini. Semoga jadi pelajaran buat abang yang sudah berbuat dzalim kepadaku Bang. Siap-siap dunia tahu tanpa harus aku membuka aibnya.
🌷
Kami tiba di rumah sakit pada waktu dinihari. Pak Wisang beberapa kali melakukan telfon sepertinya berkordinasi entah dengan siapa.
Ruang yang kami tuju adalah ruang ICU dimana kedua pasien berada. Aku melihat beberapa orang berseragam lepas berjaga disekitarnya.
"Dena, tolong nanti kalau ada yang bertanya kamu siapa, tidak usah kamu jawab kalau kamu istrinya Fawaz. Cukup bilang kamu keluarga saya. Paham?"
Aku berkerut mendengar pernyataan pak Wisang.
"Biar saya handle semuanya, sebentar lagi Pak Dhe saya datang dan kamu cukup menjauh ya"
Aku mengangguk pelan menyetujuinya.
"Are you okay Dena?"
Aku menoleh dan mendapati pandangan pak Wisang yang terasa intimate ke arahku.
"Biasa saja Pak.. saya hanya merasa kasian.."
"Good. Karena mungkin kalian menikah karena dijodohkan, perasaan kamu belum terlalu dalam kan?"
Aku mengangguk kecil enggan. Apa maksudnya dia sok tahu begitu.
"Jujur, apa kalian sudah berhubungan intim?"
Whuzz, entah kenapa aku merasa malu mendapati pertanyaan seperti itu. Aku kan jadi malu juga menjawabnya.
"Sorry Dena, maksud saya bukan mengorek urusan pribadi kamu sedalam itu. Ada untungnya jika kalian belum berhubungan intim agar kamu sendiri tidak dirugikan. Karena bagi wanita, kehormatan dan harga diri itu tak ternilai. Kamu bisa mempersembahkan kesucian kamu hanya pada orang yang memang menghargai dan mencintai kamu sebagai pasangan. Dan Fawaz tidak berhak mendapatkan itu dari kamu. One day, kamu akan mendapatkan seseorang yang betul-betul layak untuk kamu, jodoh sejati"
Hhm, aku paham apa yang dimaksud pak Wisang. Tapi apa aku harus sejujur itu sama dia?
Tak lama ku lihat pak Wisang berbicara dengan dokter jaga yang menjelaskan kondisi kedua korban.
"Yang perempuan dalam kondisi koma saat ini karena setelah kami CT scan, ada pendarahan cukup banyak di otak kirinya. Sedangkan yang laki-laki sudah sadar, dan kami membutuhkan persetujuan keluarga untuk diamputasi Pak"
Netraku membola seketika. Amputasi? Bang Fawaz mau diamputasi? Ya ampun.
"Tidak ada solusi selain amputasi Dok?"
"Saat ini belum ada karena lukanya cukup berat dan harus kami potong supaya stagnasinya tidak menyebar ke atas. Besok pagi maksimal kami tunggu keputusannya ya"
Pak Wisang mengangguk lalu menoleh ke arahku.
"Kamu ada nomor telfon orangtuanya?"
Aku menggeleng. Hanya ada orangtua Ojan sebagai walinya kemarin itu. Ayahnya sudah kembali ke Sumatera menemani istrinya yang sudah sakit-sakitan disana.
"Saya hubungi walinya ya Pak"
"Oke, minta mereka kesini saja Dena, biar dijelaskan dokter. Lebih baik begitukan?"
Aku mengiyakan lalu meraih ponselku yang ada di tas bahuku.
Menghubungi babeh adalah yang paling tepat saat ini, karena aku gak ada nomor telefon babehnya Ojan. Tapi Baiknya aku telfon bang Arif saja yang tinggal deket rumah Babeh untuk mengabari babeh dan babehnya Ojan. Biarlah, ketahuan sekalian ya sudah.
Mungkin ini jawaban Tuhan atas semua kegundahanku atas pernikahan diatas kertas ini. Aku tidak perlu melakukan usaha apa-apa untuk mengungkap semuanya. Ada tanganNya yang membuka semua ini dengan sendirinya.
Bismillah
Lekas aku menekan tombol nomor bang Arif kakak tertuaku saat ini. Masih jam 4 lewat saat ini, tentu saja mungkin masih tidur abangku itu.
"Hhmmm.. hallooo"
"Haloo bang.. ini Dena"
🌷
Bebs, kalian udah follow IG ku? Follow @liebeima01 yaa 🤩
Happy Saturday Night Bebs
Happy Fasting, sehat2 yaa
Happy Weekend🤩😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Gacoan
RomanceApa jadinya jika pernikahan kita hampir batal karena pengantin lelakinya kabur persis menjelang akad suci terucapkan? Relakah jika sang pengantin lelaki di ganti oleh seseorang yang ternyata pernah singgah walau sekejap? Pernikahan seperti apa yang...