"Bagaimana kabar pendekatan kamu dengan putri ketua partai? Tidak ada masalah kan?" Tanya Prasetya saat keluarganya makan malam bersama, tanpa Agni tentu saja karena putrinya itu sedang liburan ke rumah neneknya.
"Nggak ada masalah Pa. Raisa kayaknya juga respect banget sama aku." Sahut Adrian jumawa. Ia menatap Laras yang saat ini tengah menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Ekspresi wanita itu tetap datar, membuat Adrian sulit menebaknya.
"Bagus. Jika kamu segera menikah dengan Raisa, otomatis kekuasaan petahana akan jatuh ke tangan kita. Sebenarnya tidak susah merebut kekuasaan di petahana. Tapi papa hanya tidak ingin ada perpecahan."
"Hmmm. Adrian setuju Pa. Dan sepertinya usaha kita tidak menemui kesulitan. Raisa bukan tipe wanita yang berkecimpung di dunia politik. Ketika Adrian mendekatinya, wanita itu langsung menyambut saja."
"Teruskan pendekatan kamu. Satu tahun lagi papa pensiun. Setelahnya papa akan lebih fokus ke partai."
Perbicangan antara putra dan suaminya tidak membuat Devi tertarik sama sekali. Ia meneruskan makannya dengan lahap sambil sesekali dilayani oleh Laras. Ia menatap kursi yang biasanya diduduki oleh Agni. Sudah satu minggu ini putrinya itu berlibur ke rumah neneknya. Dan jujur saja Devi mulai merindukan Agni meskipun dalam kesehariannya ia tidak pernah mengacuhkan putrinya sendiri.
Dalam hati Devi, ia benar-benar merasa bersalah pada putrinya itu. Gara-gara perseteruannya dengan sang suami ketika mengandung Agni dan secara tidak langsung Devi mengetahui suaminya memiliki wanita lain, semenjak itu pula keadaan rumah tangganya menjadi amburadul.
Adrian tumbuh menjadi pemuda yang ambisius. Agni yang tidak terurus, tumbuh menjadi gadis pendiam dan anti sosial. Hubungannya dengan sang suami terus memburuk dan hingga sekarang keduanya seperti sudah mati rasa. Rumah tangganya sangat aneh dan sebenarnya Devi ingin kabur saja jika tidak mengingat anak-anaknya.
Meskipun Devi terkesan tidak mengurus anak-anaknya, sebenarnya ia sangat menyayangi keduanya. Devi bisa bertahan dengan Prasetya hingga sekarang adalah karena anak-anaknya. Jika bukan karena mereka, mungkin Devi sudah bunuh diri karena frustasi.
"Adrian."
"Iya Ma."
"Jangan menikah karena ambisi. Menikahlah dengan wanita yang kau cintai dan bahagikan dirimu. Hidup hanya sekali dan jangan menghabiskannya dengan orang yang salah."
Sahut Devi cuek sambil meminum air putih yang ada di hadapannya. Mengabaikan tatapan heran dari suami dan putranya, Devi beranjak kemudian berjalan menuju kamarnya. Adrian dan Prasetya saling menatap heran, namun keduanya memilih menggidikkan bahu dan meneruskan makannya.
Prasetya sendiri memahami sindiran Devi. Namun ia tidak mengatakan apapun agar keadaan rumahnya tetap damai dan stabil meskipun semuanya saling diam. Setidaknya itu akan menjaga image-nya agar ketika ia pensiun dan fokus ke partai, tidak ada sandungan yang berarti dan langkahnya untuk menjadi pemimpin negara akan sukses seperti cita-citanya.
**
Pagi harinya, Agni dan Darren sarapan dan masih saling diam seperti biasanya. Rambut keduanya masih basah karena di gudang ini tidak ada pengering rambut. Sebenarnya keadaan ini membuat Darren benar-benar tidak nyaman, namun ketika ingin pulang tadi malam, ia tidak tega meninggalkan Agni sendirian di tempat ini.
Setelah selesai sarapan, Darren berdiri dan hendak beranjak. Ia tidak mau berlama-lama di sini karena suasananya sangat kaku setelah kejadian semalam. Sebaiknya Darren cepat pergi agar tidak gila karena menahan malu.
"Aku berangkat. Nanti sore kau mau dibelikan apa?" Dan Darren mengutuk mulut konyolnya karena menanyakan hal barusan. Kenapa ia seperti suami yang hendak berangkat bekerja dan menanyakan titipan istrinya. Padahal seharusnya mulutnya diam saja.
"Eeeehm, terserah saja. Aku bukan tipe pemilih makanan. Tapi, bisakah aku minta tolong dibelikan ayam dan sayur bayam. Stok sayur di kulkas habis. Hanya tersisa telur dan beberapa bumbu saja." Ucap Agni memberanikan diri. Stok makanan mentahnya memang habis dan ia bingung ketika pagi harus membuat sarapan.
"Baik. Nanti aku belikan. Aku berangkat sekarang."
"Tunggu."
Agni menahan Darren yang akan berangkat. Darren menatap penuh keheranan namun tidak mengatakan apapun. Ia menatap Agni yang berjalan ke area memasak dan mengambil sesuatu lalu memberikannya pada Darren.
"Tadi aku menggoreng udang dan memasak sayur lodeh. Ini masih enak ketika makan siang nanti. Ada wadah makanan kemarin yang aku gunakan untuk wadah bekal. Tidak terlalu buruk kan?"
Darren menatap kotak makanan yang diberikan Agni. Sejenak ia terpaku dan tidak tahu harus berbuat apa. Namun karena tidak ingin berdebat, Darren menerima bekal itu dan membawanya ke kantor.
Sementara Agni tersenyum begitu Darren meninggalkan gudang tua itu. Ia kemudian ke dapur untuk mencuci bekas alat-alat memasaknya tadi. Meskipun tempat ini lusuh dan berada ditengah hutan, entah kenapa Agni lambat laut mulai nyaman. Pria itu memperlakukannya dengan baik dan bahkan semalam mereka bercinta.
Mengingat semua itu, Agni benar-benar merasa dirinya sudah gila. Pria itu menculiknya dan bahkan hingga sekarang Agni tidak tahu apa motif pria itu menculiknya. Dan gilanya, Agni malah mulai menikmati tinggal di tempat ini bersama pria asing itu dan mereka seperti sepasang suami istri yang hidup bahagia padahal mereka tidak saling kenal.
Agni merasa lebih nyaman dan di hargai di tempat ini. David, meskipun dingin dan ketus, namun diam-diam perhatian padanya. Menanyakan makanan keinginannya, membelikan kebutuhannya, membuat Agni merasa nyaman dengan sentuhannya. Baru kali ini Agni merasa dirinya di anggap ada oleh seseorang. Entah apa namanya, hidup Agni sekarang serasa lebih berwarna.
**
"Kau terlihat pucat, ada masalah?" Tanya Darren saat ia dan Laras bertemu di taman kota. Hari ini Laras mendengar Adrian akan pulang malam karena rapat. Menggunakan kesempatan itu, Laras membuat janji temu dengan Darren agar otaknya yang penuh masalah bisa sedikit mereda.
"Tidak apa-apa. Mungkin hanya kelelahan." Jawab Laras sambil menerima minuman kemasan yang baru sama dibelikan oleh Darren.
Keduanya duduk di kursi taman sambil menatap orang-orang yang ramai berlalu lalang. Darren memakan burger yang baru saja ia beli. Ia sekilas menatap Laras juga makanan burger yang tadi ia belikan.
"Apa kau ada masalah di tempatmu bekerja? Wajahmu tidak bisa di bohongi Laras. Kau terlihat kelelahan."
Bagaimana tidak kelelahan. Semalam si gila Adrian masuk ke dalam kamarnya dan menungganginya semalaman. Laras semakin tertekan dan tidak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia mengatakan hal ini pada Darren sekarang. Karena jujur, Laras semakin hari semakin ketakutan. Dalam hati ia berdoa agar Adrian segera menikah dan pergi dari rumah itu.
"Darren."
"Ya."
"Sejak awal aku lupa bertanya padamu."
"Bertanya apa?"
"Apa kau sudah punya pacar?"
Dan Darren yang sedang meminum minumannya langsung tersedak mendengar pertanyaan Laras. Kenapa Laras tiba-tiba bertanya hal seperti itu padanya. Pacar. Sejujurnya Darren belum memiliki pacar. Tapi Agni, ia sudah tidur dengan wanita itu. Apa tidur bersama itu sudah bisa disebut pacar? Entahlah. Darren pusing sendiri menjawab padahal pertanyaan Laras sangatlah simple dan sederhana.
![](https://img.wattpad.com/cover/364549405-288-k238048.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidnapping ( On Going )
RomanceAgni Prasetya Hadiwinata, seorang putri panglima TNI yang selama ini selalu di abaikan oleh keluarganya sendiri. Sang papa terlalu sibuk dengan karir politiknya, sedangkan sang ibu yang selalu diabaikan ayahnya juga sibuk dengan dunianya sendiri. Ka...