05 - Tentang Jodoh

17 1 0
                                    

Warung Ceu Mimin hari ini tampak begitu ramai. Orang-orang berseragam kantor, anak sekolah, juga security bank swasta terlihat sarapan di warung tenda itu. Matahari pagi tersenyum ramah pada penduduk sekitar.

Meski lapak warung itu tidak terlalu luas, namun cukup untuk menampung sepuluh orang sekaligus, ditunjang dengan dua meja kayu sederhana yang memanjang dan kursi plastik kotak yang berjejer rapi sebagai tempat duduknya.

Guntur sudah ada di warung itu sejak dua belas menit yang lalu, tapi dia belum memesan apa pun. Hanya baru meneguk teh tawar hangat saja satu gelas. Padahal aroma pisang goreng panas dan bakwan jagung yang baru matang itu sudah tercium semerbak, tersapu angin. Tapi Guntur masih fokus dengan ponselnya, serius sekali. 

"Pak Guru, belum pesan?" tanya Ceu Mimin.

"Belum Ceu, nanti saja masih pagi kok, saya minum dulu aja," jawab Guntur sambil terus memainkan ponsel.

"Ini atuh Pak Guru, sambil makan pisang goreng, mumpung masih panas." Ceu Mimin menaruh sepiring pisang goreng panas yang masih mengepul dan baru ditiriskan itu di meja Guntur.

"Iya Ceu, makasih." Guntur masih menunduk serius.

Sementara orang-orang yang makan di kiri, kanannya masih terus asyik mengobrol. Tentang hasil pertandingan sepak bola semalam, berita-berita kriminal, juga tentang headline politik nasional yang memunculkan kontroversi publik.

"Ah payah, semalam Persib kalah lagi," ujar bapak-bapak berseragam security berkepala plontos, berbadan tambun dengan lipatan lemak yang terlihat dari balik seragamnya.

"Wah, padahal kemarin baru beli striker asing, tapi tetap aja nggak ngaruh. Makanya saya jadi malas nonton, Kang," jawab bapak-bapak berseragam korpri.

"Iya, padahal striker lokal juga banyak, tapi mereka selalu menjadi cadangan. Liga kita terlalu mengandalkan pemain asing," jawab lagi si bapak security.

"Tapi faktanya, kualitas pemain asing memang jauh lebih baik Kang, pemain kita kebanyakan mengandalkan lari, minim taktik dan strategi."

"Betul sih Pak, saya setuju, perlu ada pembenahan dan peningkatan kualitas."

Seorang pria paruh baya di ujung meja tiba-tiba mengeluarkan suara, "Makin hancur negeri ini! Masa iya, seorang Menteri Sosial korupsi sampai milyaran? Bobrok sekali!"

Pria berkemeja kotak-kotak di depannya menggeleng dan langsung menyahut, "Para pejabat di negeri kita itu memang harus dimiskinkan Pak, mungkin mereka akan jera. Karena mereka itu lebih takut miskin, daripada takut bui," katanya tegas.

"Setuju ... setuju ...." seru yang lain.

Guntur hanya menguping dan tidak ikut nimbrung, karena dia sudah jarang nonton televisi. Setiap kali di rumah, Guntur lebih sering menghabiskan waktunya sendiri di kamar menonton film, serial kartun dan anime. Apabila sedang butuh informasi berita terbaru, dia akan mengaksesnya melalui ponsel.

Sepuluh menit berlalu dan keadaan warung kini sudah kembali sepi, hanya tinggal menyisakan Guntur sendiri. Akhirnya dia pun memesan sarapan.

"Pesan bubur saja Ceu, seperti biasa pakai sambal dua sendok ya, Ceu."

"Siap Pak Guru, kenapa nggak pesan dari tadi atuh? Yang baru datang malah saya buatin lebih dulu," tanya Ceu Mimin sambil meracik semangkuk bubur untuk Guntur.

"Sengaja nunggu sepi Ceu, saya lebih suka suasana seperti ini." Guntur menaruh ponselnya di meja. "Sekalian pengen ada yang ditanyain juga sama Eceu, sekalian ngobrol-ngobrol."

"Oh, tumben? Mau tanya soal apa nih, Pak? Kebalik dong, harusnya saya yang tanya-tanya sama Pak Guru." Bubur ayam yang masih panas itu pun tersaji di depan Guntur. "Pak guru kan, lebih pintar dan berwawasan daripada saya."

"Ya, tapi bagaimana pun pengalaman hidup Eceu itu lebih banyak daripada saya. Jadi nggak ada salahnya kan, saya belajar dari Eceu?"

"Iya sih Pak, memangnya mau tanya apa?" Ceu Mimin mulai duduk di kursi.

Guntur menegakkan punggungnya. Setelah menelan bubur di suapan pertamanya, dia pun lantas bertanya, "Ceu, kira-kira amalan apa ya, yang harus saya lakukan agar bisa cepat dapat jodoh?"

"Waduh soal jodoh ya Pak, saya juga bingung jawabnya gimana. Sepertinya Pak Guru salah orang kalau tanya soal itu."

"Nggak papa Ceu, saya cuma mau minta pendapatnya aja dari Eceu, siapa tahu jawaban dari Eceu bisa mencerahkan saya."

Ceu Mimin menghela nafas sejenak, mengatur posisi duduknya, lalu dia mulai memberikan jawabannya, "Setahu saya sih Pak, kalau mau cepat dapat jodoh itu kita harus sering bangun tengah malam, salat tahajud, terus minta sama Allah dengan khusyuk. Selain itu harus banyak sedekah juga, Pak. Tidak hanya menolak bala, sedekah juga bisa melipatgandakan rezeki kita."

"MashaAllah, saya baru sadar Ceu, selama ini saya memang kurang sedekah, saya jadi merasa diingatkan," jawab Guntur sedikit kaget mendapat jawaban dari Ceu Mimin, seakan baru saja menerima wangsit yang sangat berharga.

"Oh iya Pak, jangan lupa juga sering salat hajat. Saya juga Alhamdullilah Pak, meski suami sudah nggak ada, tapi rezeki saya cukup. Anak yang pertama udah nikah, yang kedua udah kuliah, tinggal satu lagi aja yang bungsu, yang masih butuh biaya," ujar Ceu Mimin.

Guntur mengangguk kagum, wanita berusia kepala lima itu memang sudah sejak dua tahun yang lalu menjanda, setelah suaminya meninggal karena suatu penyakit di rumah sakit. Meski begitu, hidupnya nampak makmur dan tanpa beban.

"Ah, tapi kalau zaman sekarang mah cari jodoh lebih mudah Pak, nggak kayak zaman dulu belum ada medsos. Itu anak teman saya aja kemarin menikah katanya kenal dari facebook."

"Iya sih Ceu, tapi orang-orang di medsos itu nggak semuanya real, kadang ada juga tuh yang pakai foto palsu, harus pilih-pilih juga." 

Sekarang entah sudah suapan yang keberapa, bubur ayam di mangkuknya itu sudah hampir ludes.

"Ya, hati-hati aja Pak, yang namanya jodoh kan, kita nggak tahu, bisa nemu dari mana aja, kan? Yang penting usaha dulu aja, Pak," jawab Ceu Mimin sambil tersenyum lebar.

"Padahal Pak Guntur itu ganteng lho. Badan tinggi, kulit putih, mirip itu lho Pak, yang suka main sinetron siapa namanya, Parel Braa ... Braaa ... apa itu, lupa kepanjangannya?" Ceu Mimin mendongak ke atas, berusaha mengingat nama selebriti yang ingin dia sebutkan.

"Oh Verrell Bramasta? Haha, beda jauh atuh Ceu, dia mah mancung, saya mah pesek. Ah, Eceu bisa aja." Guntur tertawa geli.

"Tapi sekilas mirip lho Pak, hehe."

"Iya kalau sekilas, tapi kalau ditatap lama, ya bagai langit dan bumi, Ceu." Guntur tertawa lagi.

"Ya, tapi masa iya gitu Pak, nggak ada satu pun perempuan yang nyantol sama Pak Guntur, hehehe."

"Proses Ceu, doain saja yah, pokoknya nanti kalau saya sudah dapat jodoh, Eceu bakal saya kasih sesuatu, hehe."

"Amiinn, sesuatu apa nih, Pak?"

"Rahasia, Hehe," pungkas Guntur sambil tersenyum.

Matahari kian merangkak naik, setelah nongkrong di warung Ceu Mimin hampir tiga puluh menit lamanya, Guntur segera membayar sarapannya dan bergegas melanjutkan aktivitasnya di sekolah. Dan setelah percakapan itu, Guntur mungkin akan sedikit lebih rajin bangun tengah malam dan mulai bersedekah. 

GunturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang