25 - Kecewa

6 0 0
                                    

Guntur dan Nia duduk dengan perasaan gugup dan was-was. Karena sore ini Spv tiba-tiba memanggil mereka ke ruangannya. Perasaan itu wajar tiba-tiba muncul karena mereka tahu bahwa hal itu selalu dilakukan oleh Spv ketika ada karyawan sedang bermasalah atau kinerjanya perlu dievaluasi.

Mereka bahkan tak berani menatap langsung. Wajah Spv rupanya sedang tidak bersahabat kali ini, mendung sekali. Belum ada segaris senyum pun yang nampak dari bibirnya. Mereka masih menunggu Pak Wawan membuka mulut sambil terus memperisapkan diri.

Pak Wawan menarik nafas panjang, dia pun memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan, "Kalian tahu apa salah kalian? Sehingga saya panggil ke sini?" ucapnya kali ini dengan bahasa formal, tidak menggunakan logat betawi sebagai mana biasanya.

"Siap, tidak tahu Pak," Guntur menyahut, suaranya seperti tertahan. 

Sementara Nia hanya diam dan terus menunduk.

"Kalian kan, sudah lama kerja di sini, harusnya sudah paham dong dengan aturan perusahaan." Pak Wawan melanjutkan.

Nia terus dalam posisinya, Guntur juga ikut menunduk dan hanya bisa pasrah.

"Perusahaan melarang setiap karyawannya pacaran. Kalian tahu kan, aturan ini? Tapi kenapa melanggar?"

Masih belum berani angkat bicara. Mereka sadar kalau mereka salah. Namun Nia dan Guntur bingung, mengapa sikap Spv bisa berubah seperti ini? Sebelumnya bahkan tidak ada gelagat tidak suka. Tapi kali ini dia muncul dengan sikap yang berbeda. Ada apa? Pertanyaan itu terus berputar di pikiran mereka.

"Saya beri kesempatan, ini peringatan yang pertama. Kalau selanjutnya kalian kedapatan masih pacaran di sini, saya akan mutasi salahsatu dari kalian," tegasnya tidak main-main, Pak Wawan benar-benar serius kali ini.

Kesempatan itu masih ada, mereka masih bisa bekerja dengan biasanya. Mendapat hak yang sama seperti halnya karyawan lain. Namun setelah ini, suasananya mungkin akan terasa berbeda. Nia dan Guntur hanya perlu membiasakan diri, memberi sedikit jarak lalu bersikap sewajarnya ketika sedang bekerja. 

"Baik Pak," jawab Guntur singkat setelah dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk bersuara.

"Silahkan kalau kalian mau pulang, ingat pesan saya baik-baik." Pak Wawan mengakhiri, mempersilahkan mereka untuk meninggalkan ruangan.

Lemas! Keduanya seperti kehilangan tenaga setelah mereka dipanggil Pak Wawan. Sejak keluar dari ruangan itu Nia bahkan terus cemberut, berjalan tergesa-gesa meninggalkan Guntur sendirian di belakang. Guntur segera menyusulnya, dia tahu bahwa perempuan itu sedang kesal namun tidak bisa melampiaskannya.

Barulah kemudian ketika sudah sampai di halaman depan restoran Nia mulai menggerutu layaknya senapan yang sedang memuntahkan peluru.

"Aku tuh kesel banget sumpah, kenapa sih Pak Wawan jadi berubah gitu? Perasaan biasanya nggak kayak gitu."

"Nggak papa lah beb, kita terima aja, yang penting kita masih kerja di sini. Santai aja, dia kan, cuma ngelarang pacaran pas lagi kerja, kalau lagi diluar nggak ada yang bisa larang kita, kan?" Guntur mencoba menenangkan.

"Iya, tapi aku ngerasa aneh aja, nggak mungkin dia tiba-tiba berubah kayak gitu, pasti ada sebabnya."

"Mungkin dia ngerasa punya tanggung jawab menegakkan aturan di perusahaan ini dan kita sebagai karyawan ya, cuma bisa ikut aturan aja, kan?"

"Iya, aku paham, tapi aku kenal dia itu udah lama Beb, aku udah tiga tahun di sini, aku bener-bener tahu gimana karakternya, dia orangnya nggak sejutek dan sekaku itu. Bener-bener aneh, dia bukan pak Wawan yang selama ini aku kenal. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi berubah."

Guntur hanya terdiam, dia merasa ucapan Nia ada benarnya.

"Demi kebaikan kita, mulai saat ini dan seterusnya kita harus bersikap sewajarnya pas lagi kerja. Bila perlu, istirahat pun nanti masing-masing aja, jangan sampai ada yang liat lagi kita berduaan," pinta Nia.

"Cuma pas lagi kerja aja, kan?"

"Iya."

"Sebelum aku antar kamu ke kosan, gimana kalau kita ngopi dulu di kafe terdekat dari sini aja, gimana?" ajak Guntur.

"Aku lagi nggak mood."

"Ini waktu buat kita Beb, sekarang cuma di luar jam kerja aja kita bisa bebas ngobrol berduaan kayak gini, nggak ada yang bisa larang kita."

"Maaf next time aja ya, aku cuma pengen pulang. Aku capek, aku pengen istirahat."

Tak biasanya Nia menolak, kali ini suasana hatinya benar-benar sedang kacau. Upaya apapun yang Guntur lakukan untuk membujuknya pasti akan berujung pada kegagalan.

Guntur segera menyalakan mesin motornya, mengantar Nia pulang ke kosannya. Kali ini dia pulang dengan perasaan kecewa. Penolakan itu terasa menyakitkan baginya. Dia hanya bisa berharap nasib hubungannya dengan Nia akan baik-baik saja.

***

Beruntunglah ketika sudah sampai di kosan Guntur tidak termangu sendirian. Ada Agus di sana. Setidaknya ada orang yang bisa diajak bicara di saat dia sedang banyak pikiran. Sebetulnya masalahnya tidak terlalu serius, dia sadar itu. Yang membuat dia galau adalah penolakan Nia tadi, mengapa dia bersikap seperti itu?

Apakah karena dia merasa malu setelah dipanggil Pak Wawan? Atau ada hal lain yang membuatnya tiba-tiba seperti itu? Guntur terus bertanya-tanya. Dia berusaha berfikir positif, mungkin saja Nia memang sedang tidak mood, begitu pikirnya.

"Tur, gua perhatiin dari tadi lu bengong terus, kayak lagi ada masalah?" selidik Agus.

"Tadi gua sama Nia dipanggil Spv," jawabnya lemas.

"Lah, kenapa Tur? Kok bisa?"

"Pak Wawan tahu gua pacaran sama Nia, tadi gua sama Nia dapet SP."

"Lah, bukannya dia udah lama tahu?"

"Itu dia Gus, padahal selama ini dia nggak pernah liat langsung gua berduaan sama Nia di jam kerja. Itu pun nggak sering, cuma kebetulan aja pas satu shift bareng, tapi anehnya sekarang dia jadi agak galak gini, nggak kayak biasanya."

"Kenapa ya, Tur? Setahu gue sih, Pak Wawan itu santai orangnya. Dulu sebelum lo masuk juga ada tuh yang pacaran sesama karyawan, dia biasa aja. Asalkan nggak ganggu kerjaan aja."

"Nggak tahu lah Gus, gua nggak ngerti. Gua nggak mau nekat, mau main aman aja. Karena kalau sampai gua keliatan lagi berduaan sama Nia pas lagi kerja, bisa-bisa gua dimutasi, Gus."

"Iya, susah juga ya kalau gitu. Udahlah, nggak perlu lo pikirin, mendingan lo ngopi dulu nih, biar lebih rileks," kata Agus sambil menyodorkan segelas kopi hitam panas yang baru saja dia buat.

"Thanks Gus, cuma lo satu-satunya orang yang selalu baik sama gua."

"Hahaha, kalem Bro, udah enjoy aja, Nia nggak bakalan kemana-mana." Agus berusaha menghibur.

"Tapi tadi pas pulang gua ajak dia ngafe, dia malah nolak. Padahal niat gua cuma mau ngehibur dia. Gua agak kecewa sih."

"Ya, mungkin dia lagi capek, atau lagi nggak mood. Sabar aja, namanya juga cewek, kadang suka tiba-tiba gitu."

"Moga aja lah dia emang lagi nggak mood, bukan karena udah males sama gua."

"Kalau dia emang beneran sayang sama lo, dia nggak mungkin ninggalin lo hanya gara-gara dapet peringatan dari Spv, lucu aja kalau dia tiba-tiba ninggalin lo." Agus berusaha menyemangati.

Guntur tidak menjawab, kembali termangu. Wajahnya sungguh terlihat lesu kali ini. Segelas kopi pun tidak mampu mengembalikan semangatnya lagi.

Dia membaringkan tubuhnya di kasur, membuka ponsel, berharap Nia menghubunginya, tapi tidak ada. Belum ada pesan baru yang masuk. Kali ini Nia benar-benar membuatnya galau. 

GunturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang