12 - Pulang

11 1 0
                                    

Ketika arah jarum jam arlojinya menunjuk angka tiga, Guntur berinisiatif mengakhiri kencan dan mengajak Maya pulang. Meskipun Maya tampak masih betah duduk santai di salahsatu gazebo yang ada di sana, Guntur tahu bahwa anak Maya di rumah pasti sudah menunggu kepulangannya.

"Aku anterin kamu pulang ya? Kasihan anak kamu yang kecil pasti udah nungguin," ucap Guntur perhatian.

Maya mengangguk. Dia sungguh terkesan Guntur begitu memahami statusnya sebagai Ibu dua anak. 

"Iya makasih, anak aku yang kecil emang suka rewel kalau aku tinggal lama-lama," jawab Maya dengan senyum simpul.

Sesudah mengantarkan dua mangkuk bekas soto ayam yang habis mereka makan, Guntur menuntun Maya ke arah parkiran, mereka keluar meninggalkan area Rainbow Garden dengan sebuah pengalaman yang berkesan. Air muka Guntur tampak begitu cerah, begitu pun Maya yang terlihat berseri-seri.

Namun masih ada sedikit keraguan di hatinya, Guntur benar-benar belum yakin kalau hubungan ini bisa berjalan ke arah yang lebih serius. Di satu sisi, dia begitu menikmati kencannya dengan Maya dan merasakan kecocokan satu sama lain. Obrolan mereka pun mengalir begitu saja dari semenjak mereka kenalan. Godaan dibalas dengan godaan, ejekan di balas dengan ejekan, tak jarang mereka pun memuji satu sama lain.

Di sisi lain Guntur juga belum siap menjadi sosok ayah. Dia masih menimbang-nimbang apakah keluargnya tidak akan keberatan dan mau menerima status Maya dengan tulus jika suatu saat nanti Guntur benar-benar meminangnya?

Hal yang sama juga dirasakan oleh Maya. Baginya Guntur adalah sosok laki-laki yang ideal, punya fisik yang rupawan dan punya tubuh yang atletis. Guntur juga punya selera humor yang baik, tidak membosankan, dan selalu bisa membuatnya tertawa. Hanya saja Maya belum begitu yakin Guntur benar-benar mau menerima statusnya dan siap merawat anak-anaknya.

Hatinya baru saja terbuka sedikit, dia belum berani membukanya lebar-lebar meski Guntur secara tidak langsung sudah menunjukkan ketertarikan padanya. Karena masih ada trauma di hatinya soal pernikahan. Pengalamannya yang pernah diselingkuhi oleh mantan suaminya itu membuatnya lebih berhati-hati dalam membuka hati. Dia tidak ingin lagi tertipu oleh sebuah ketampanan. Yang Maya butuhkan hanyalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab.

Maya pun sadar Guntur adalah laki-laki lajang, belum pernah menikah dan masih muda, dia berpikir masih banyak wanita yang lebih muda dan lebih pantas untuknya. Dia hanya bisa berandai-andai, andai saja Guntur seorang duda, maka tak perlu banyak pertimbangan untuk menerima pinangannya. 

Itulah yang masih menggajal di hatinya. Meski rasa ketertarikannya pada Guntur tampak begitu jelas dari gerak-geriknya, namun hatinya masih bimbang dan masih belum begitu yakin perjalanan cintanya akan menuju ke arah yang lebih serius.

"May kok, diem? Are you okay?" tanya Guntur sambil fokus mengemudikan motor.

"Eh, i–iyaa ... I'm fine, hehe." Lamunannya buyar seketika. Maya bengong sejak dari tadi dan malah fokus memperhatikan lalu lalangnya kendaraan di jalanan.

"Ada yang lagi kamu pikirin?" selidik Guntur.

"Ehhmm, nggak ada sih," timpal Maya singkat. Diam-diam matanya melirik wajah Guntur melalui kaca spion. Dengan sedikit canggung dia pun bertanya, "Tur, ehmmm ... kamu nggak nyesel kan, ketemu sama aku?"

Tanpa basa-basi Guntur langsung merespon dengan lugas, "Nggak dong May, aku seneng kok bisa ketemu sama kamu." Senyumnya terlihat jelas dari kaca spion.

Maya semringah. Wanita berhidung mancung yang sekilas kearab-araban itu nampak manis ketika sedang tersenyum. Sekarang dengan leluasa Maya memeluk Guntur dari belakang. Sambil memejamkan mata dia menyenderkan kepala di punggung lelaki yang sedang memboncengnya itu.

Tidak hanya jantungnya yang spontan berdegup lebih cepat, Guntur juga merasakan kehangatan di dadanya dan merasakan kenyamanan yang luar biasa. Dia mengemudikan motor dengan sangat pelan dan menikmati perjalanan seolah tidak ingin moment itu cepat berakhir.

Sambil terus memeluknya, Maya kembali bersuara dari belakang, "Tur, next time kita jalan lagi yuk, ke tempat yang lebih seru, tapi aku mau ngajak anak aku, nggak papa, kan?"

Kali ini Guntur seperti tak kuasa untuk menjawab langsung pertanyaan Maya dengan lugas. Dia terdiam sejenak mengolah kata di dalam kepalanya dan memilih mana yang paling pas untuk diucapkan. Sehingga dia akhirnya memutuskan untuk menjawabnya dengan kalimat yang standar, seperti tidak ingin memberi janji pada Maya dan membuatnya kecewa. 

"Ehmmm ... i–iya May, boleh ... boleh, InshaAllah ya ...."

Itulah harga yang harus dibayar oleh Guntur ketika memutuskan mencintai seorang Maya. Maka dia pun wajib mencintai anak-anaknya sekaligus menjadi tanggung jawabnya. Apakah Guntur siap dengan hal itu?

Separuh perjalanan kini telah mereka lewati dan sebentar lagi Guntur sampai di tujuan. Guntur ingin mengantarkan Maya hingga ke depan pintu rumahnya namun Maya menolak. Alasannya karena semenjak dia menjadi lajang kembali, Maya belum pernah membawa, mengajak atau menerima satu pun lelaki di rumahnya. Entah karena menghindari omongan tetangga, atau ada alasan lain, yang jelas Maya masih enggan melakukan itu.

"Nanti aku turun di pertigaan aja ya, di tempat yang tadi pagi kamu jemput aku," pinta Maya pada Guntur.

"Nggak nyampe rumah kamu aja? Bukannya dari situ masih jauh ke rumah kamu? Masa nanti kamu jalan kaki?" 

Guntur merasa punya tanggung jawab untuk mengantarkannya sampai rumah.

"Nggak papa, nanti aku bisa minta tolong sepupu aku buat jemput."

Guntur berusaha untuk setuju dengan Maya meski ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kenapa Maya bersikap seperti itu? Guntur berusaha berpikir positif dan tetap menghargai keinginan Maya.

Mereka pun akhirnya sampai di tujuan. Di sebuah pertigaan di titik jemput Maya tadi pagi. Maya lekas turun dari motor, rambutnya yang tergerai panjang terombang ambing kesana kemari tersapu angin. Guntur menatap Maya lekat-lekat, tak lama kemudian Maya tersenyum, bukan hanya bibirnya saja, tapi juga kedua matanya. Guntur meraih tangan Maya dan memegangnya dengan erat. Mereka terus saling berpandangan tanpa bersuara hingga beberapa belas detik.

Hingga Maya memutuskan untuk mengakhirinya. "Aku pulang dulu ya?"

Guntur merasakan kelembutan itu, dia terus menggenggamnya seolah tak ingin melepaskannya. 

"Beneran, nggak mau aku anterin sampai rumah?"

"Iya, nggak papa, sampai sini aja."

"Kalau begitu aku tunggu di sini temenin kamu, sampai sepupu kamu datang."

"Nggak papa ih, kamu pulang duluan aja, aku aman kok."

"Nggak, aku pengen di sini dulu temenin kamu, sampai sepupu kamu datang," ujar Guntur sedikit memaksa.

"Ehmmm ... yaudah kalau gitu," timpal Maya yang masih berdiri.

"Kamu duduk aja dulu di sini," ucap Guntur, matanya menunjuk ke arah jok motor belakang. "Daripada berdiri terus di situ."

"Eh tuh, sepupu aku udah datang." Genggaman itu pun akhirnya lepas. 

Guntur menoleh ke belakang, seorang perempuan berkerudung itu sudah datang dan hendak menjemput Maya di pertigaan.

"Aku pamit dulu ya," ucap Maya sambil mengulurkan tangannya hendak bersalaman.

Guntur meraih tangan Maya, lalu Maya lekas mengangkat dan mencium tangan Guntur. Adegan itu sering dilakukan oleh seorang wanita atau seorang istri yang hendak pamitan kepada pasangannya. Dan Guntur merasa terkesan dengan Maya yang memperlakukannya dengan cara seperti itu.

Setelah selesai berpamitan, Maya lantas menaiki motor sepupunya. Sambil menoleh ke belakang, dia melambaikan tangan pada Guntur yang masih memperhatikannya. Hingga kemudian lambaian tangan itu pun lenyap ditelan oleh tikungan. Guntur pun segera meninggalkan tempat itu, sudah saatnya dia pulang dan kembali ke rumah. 

GunturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang