15 - Sampai di Jakarta

15 1 0
                                    


Sesuai janjinya kepada Agus, Guntur berangkat ke Jakarta hari sabtu. Rencananya dia akan menginap dulu di kosan sahabatnya itu sebelum pergi ke training center untuk menemui personalia dan melakukan wawancara.

Kedua orangtua dan adiknya berbaris di depan pintu, mereka telah siap melepas keberangkatan Guntur ke Jakarta. Ada sedikit rasa haru yang bisa dirasakan oleh Guntur, dia memandangi wajah ibunya yang mulai berkaca-kaca. Begitu pun dengan Bunga, raut keceriaannya sedikit redup, dia tidak terlihat banyak tingkah dan nyeletuk ceplas-ceplos mengejek kakaknya seperti biasa. Cecep pun demikian, dia turut memberikan doa dan semangat untuk putra sulungnya itu.

"Semangat ya Tur, semoga kamu betah di sana, kerjaannya lancar, sehat dan disayang sama atasan. Jangan boros dan sering-sering kabarin Mama ya," ucap Euis memberi semangat dan dukungan.

"Unga doain, A Guntur jadi orang sukses, jangan lupa sering video call Unga kalau nanti udah di Jakarta. Karena Unga pasti bete sendirian disini, nggak ada temen berantem lagi," pinta Bunga dengan menggebu-gebu, lantas dia menunduk di akhir kalimat dengan muka cemberut.

Guntur mengangguk, lalu mengelus rambut adiknya itu dengan lembut.

"Jaga diri di sana ya Tur, maaf Bapak nggak bisa nganter sampai ke terminal dan ngasih buat ongkos," ujar pria kurus yang masih dengan setelan sarung dan kaos oblong itu.

Ketiga kalinya Guntur mengangguk lalu menyalaminya satu persatu. Dia raih tas ransel besar yang sedari tadi tergeletak di lantai dan menggendongnya di punggung. Isinya penuh, sehingga tas itu terlihat kembung daripada seharusnya. Entah apa saja yang dia bawa. Selain pakaian, mungkin dia juga membawa beberapa buku dan tentu saja laptop.

Arah jarum jam arlojinya sudah menunjuk angka delapan, Guntur sudah sampai di terminal dan dia akan menaiki bus untuk sampai di Jakarta. Kira-kira bakda dzuhur Guntur akan sampai di lokasi. 

Mengingat luasnya Jakarta untuk Guntur yang baru pertama kali ke sana, Agus tidak ingin temannya itu kebingungan mencari lokasi kosannya itu. Jadi, Agus akan menjemputnya jika Guntur sudah tiba di terminal.

Bus itu melaju dengan cepat ketika memasuki jalan tol. Guntur betul-betul menikmati perjalanan, namun dia tidak bisa seperti penumpang lain yang dengan mudahnya bisa tidur lelap selama perjalanan. Yang Guntur lakukan adalah mendengarkan musik melalui headphone, sambil membaca beberapa koleksi novel kesukaannya dan sesekali melirik ke luar jendela mengamati jalanan.

Hingga tak terasa bus yang dia tumpangi itu pun sebentar lagi sampai di pemberhentian terakhir. Guntur mematikan playlist lagu yang dia putar lalu bergegas menelpon Agus agar segera menjemputnya di terminal.

"Hallo Gus, ini sebentar lagi nyampe, siap-siap jemput gua ya."

"Oke Brother, otewe sekarang, biar lo nggak nunggu lama di situ," sahut Agus di sambungan telepon.

"Nanti nunggunya di sebelah mana?"

"Biar gampang nyarinya, nanti lo nunggu di depan parkiran bus, di situ ada warung-warung yang berjejer, nah lo tunggu aja di situ, di depan."

"Oke, Gus."

"Gua matiin dulu ya teleponnya, sekarang langsung otw."

"Sip ...."

Bersamaan dengan para penumpang lain, Guntur turun dari bus dan akhirnya dia bisa menginjakkan kaki di Jakarta. Semburat kegembiraan mulai terpancar dari wajahnya. Dia mengedarkan pandangan ke segala arah. Bus yang berjejer, pedagan asongan, pengamen jalanan, hingga orang berbadan besar dengan penuh tato di lengannya, mungkin saja itu preman, pikirnya.

Ceu Mimin juga benar, sesampainya di Jakarta, udara panas mulai dirasakannya. Ditambah lagi matahari yang menyengat kulit membuatnya kian kehausan. Namun Guntur mengabaikan pedagang es cingcau yang mangkal beberapa meter di depannya, dia sudah berjanji akan menghemat sampai akhirnya mendapat gaji pertamanya.

Lima menit berlalu ... sahabat karibnya itu akhirnya datang menjemputnya menggunakan sepeda motor. Satu helm sudah tergantung di depan motornya. Berkendara di ibu kota memang perlu tertib lalu lintas, jadi Agus sudah menyiapkan helm itu untuk Guntur.

"Cepet banget, Gus?" tanya Guntur saat Agus sudah tiba di lokasi.

"Pas tadi lo nelpon, gua langsung gas kesini," timpal Agus seraya menjabat uluran tangan sahabatnya itu. "Welcome to Jakarta Tur, semoga lo betah di sini," tambah Agus disertai seringai senyum.

"Thanks Gus, gua haus nih ...." Guntur mengusap lehernya dari atas ke bawah.

"Kalem, nanti gua traktir lo es cappucino cincau. Naik dulu ayo, kita ke kosan," jawabnya langsung menyalakan mesin motor.

Benar saja, setelah menunggu beberapa saat di dalam kosan, Agus kembali sambil membawa dua kap gelas plastik es cappucino cincau. Guntur tampak gembira. Panasnya udara Jakarta dan segelas es cappucino cingcau, dan angin sepoy-sepoy yang terus berhembus dari kipas angin adalah kemewahan pertama yang baru saja dia rasakan.

Fasilitas kosannya pun terbilang lengkap. Satu ruang kamar tidur, dapur, kamar mandi, serta ruang tengah yang lumayan luas. Namun semua fasilitas itu tentu harus dibayar oleh harga sewa yang lumayan mahal.

"Jadi, lo tinggal sendirian di sini, Gus?" 

"Iya sendiri, males kalau banyakan Tur, lo nanti ngekos di sini aja berdua bareng gua."

"Lha, gua kan, belum tentu ditempatin di sini, Gus?"

"Bisa request kok, nanti lo tinggal bilang aja ke Personalianya pengen ditempatin di cabang 12." 

Guntur mengangguk. "Oke kalau gitu, gua juga pengennya di sini, sih."

"Iya, biar gua ada temennya, Tur. Kalau ngekos sama yang lain gua males, tapi kalau sama lo kan, gua udah kenal deket dari dulu."

"Iya, gua liat-liat di sini tempatnya cukup strategis sih, mau ke warung atau ke mesjid deket."

"Kalau pengen ke mal juga tinggal jalan kaki aja Tur, tuh dari sini keliatan malnya," ucap Agus sambil menunjuk sebuah mal empat lantai yang terletak di seberang.

"Wih iya, baru ngeh gua ada mal di situ." 

Agus memang kebagian tempat kos di lantai dua dan paling ujung. Ada sekitar sepuluh pintu, yakni lima pintu di lantai satu dan lima pintu lagi di lantai dua. Ada satu lantai lagi yang berfungsi sebagai tempat untuk menjemur pakaian, nah di tempat inilah pemandangan jalan raya, mal, gedung-gedung, rumah-rumah penduduk, bisa terlihat lebih jelas.

"Ini tempat favorit gua, kalau lagi pusing banyak pikiran, biasanya gua ngopi di sini sendirian," ucap Agus.

"Enak sih, sayang nggak ada atapnya, padahal bisa dijadiin rooftop buat nongkrong ini," timpal Guntur.

"Ya, namanya juga tempat orang Tur, bukan kita yang bikin."

"Iya sih, tapi asyik juga nongkrong di sini."

Langit sore hari itu memang sedang cantik-cantiknya. Di atas tempat itu tak henti-hentinya Guntur mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Memperhatikan kendaraan yang lalu lalang, mengamati para pedagang kaki lima yang mulai mangkal, melihat orang-orang kantoran yang baru saja pulang kerjajuga perempuan-perempuan yang hilir mudik atau sekadar nongkrong-nongkrong di bangku trotoar dengan baju seksinya.

Asyik juga Jakarta, gumamnya dalam hati.

GunturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang