29 - Obat yang Sesungguhnya

16 0 0
                                    

Berbekal uang yang diterima dari Guntur, Euis akhirnya bisa berobat ke dokter. Keesokannya setelah menrima uang itu, Cecep mengantarkannya ke klinik terdekat menggunakan sepeda motor milik Guntur yang ditinggalkan di kampung.

Setelah didiagnosa oleh dokter, Euis ternyata menderita sakit tifus. Itulah yang menyebkan dia merasa lemas dan mual-mual tiga hari belakangan ini. Sehingga Euis terpaksa harus absen kerja beberapa hari lagi sampai dia benar-benar pulih.

"Sebaiknya Ibu istirahat dulu dalam lima hari kedepan ya," pesan sang Dokter pada Euis di ruang praktik.

"Iya Dok," sahut Euis pelan.

Meski sakit yang dideritanya masih tergolong ringan dan tidak terlalu parah, namun Euis masih berada dalam kondisi lemah. Jalannya tertatih-tatih, sehingga Cecep harus memapahnya hingga ke area parkiran. Begitupun ketika hendak menaiki motor, Cecep harus memastikan Euis dengan hati-hati sampai dia benar-benar menaiki motor.

"Neng pegangan kuat-kuat ya," perintah Cecep pada Euis.

"Iya, Akang jangan ngebut-ngebut bawa motornya," sahut Euis dari belakang.

"Iya," timpal Cecep.

Bunga sudah menunggu kepulangannya di rumah. Anak itu mendadak jadi sangat rajin semenjak ibunya sakit. Sudah tiga hari ini dia yang mengerjakan semua pekerjaan di rumah. Dari mulai menyapu dan mengepel lantai, memasak, hingga mencuci baju dan piring. Akhirnya terpaksa dia juga harus ikut absen sekolah selama dua hari.

Ini juga hari kedua Guntur absen kerja, badannya belum benar-benar fit dan sedari tadi pagi hingga menjelang dzuhur siang ini dia hanya tidur-tiduran di lantai. Kipas angin sengaja dia matikan, hawa panas Jakarta ternyata tidak mampu membuatnya kegerahan. Sebaliknya, badannya masih merasa kedinginan, demamnya masih saja belum mereda.

Satu hal yang paling dia ingat dan khawatirkan adalah kondisi ibunya. Maka dia segera menghubungi Bunga untuk menanyakan kondisi terbaru mengenai ibunya.

Tidak perlu menunggu lama, teleponnya langsung tersambung dan dari ujung telepon adiknya menyahut, "Iya, hallo A Guntur?"

"Gimana Unga, Mama udah dibawa ke dokter?"

"Udah Aa, baru aja nyampe rumah ini."

"Terus kata dokter, Mama sakit apa?"

"Tifus katanya Aa."

"Si Mamanya itu lagi ngapain? Coba Aa mau ngobrol sama Mama, kasih hpnya."

"Iya, lagi tiduran aja Aa." 

Bunga langsung masuk ke kamar dan memberikan ponselnya ke Euis.

"Hallo, Tur," sapa Euis masih lemas.

"Iya Ma, gimana sekarang udah baikan Ma?"

"Masih lemes Tur, kepala Mama juga sakit. Dari kemarin ya, gini aja tiduran di kamar."

"Iya, Mama istirahatin aja dulu. Kalau bisa jangan ditidurin terus, duduk aja."

"Iya Tur, kamu sendiri gimana sehat?"

"Alhamdulillah sehat Ma," jawabnya mantap. 

Guntur tidak mau sama sekali membuat ibunya khawatir dengan kodisinya yang sebenarnya. Padahal sedari tadi tubuhnya masih dibungkus oleh sweater, wajahnya masih pucat, pertanda besok ada kemungkinan masih akan absen kerja lagi.

"Syukurlah, kamu nggak kerja? Tumben teleponnya siang-siang gini?"

"Kerja kok Ma, barusan habis dari toilet, terus ke mess ngambil hp buat telpon Mama. Bentar lagi juga ini istirahat."

GunturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang