17 - Sahabat Tapi Mesra

7 1 0
                                    


Dari hari ke hari Nia tampil lebih cantik. Make up nya lebih tebal daripada biasanya. Gincu yang dia oleskan ke bibirnya juga membuat warnanya makin merah mengkilap, terutama ketika dia sengaja membasahi bibirnya dengan lidah. Sialnya, hal itu seringkali dia lakukan ketika sedang di depan Guntur. Entah apa maksudnya, mungkin dia sedang berusaha menggoda atau berusaha mengimpresi laki-laki yang menurutnya tampan itu.

Bahkan tak jarang ketika Guntur sedang duduk sendiri di mess di jam istirahat, Nia menghampirinya dan tidak segan-segan duduk di sampingnya. Merapatkan tubuhnya hingga kedua paha mereka bertemu. Hangat! Guntur merasakan itu, pastilah ada sesuatu yang tegang ketika itu terjadi.

Sesekali Guntur merasa pusing ketika mencium aroma parfum yang berasal dari baju perempuan itu. Wanginya tajam sekali, bahkan ajaibnya, semerbak parfum itu masih saja tercium dari kejauhan hingga jarak tiga meter. Parfumnya pasti mahal, begitu pikir Guntur.

Selain merasa pusing, Guntur juga bisa mendadak panas dingin ketika Nia mulai leluasa menyandarkan kepala di pundaknya. Dengan nakalnya, perempuan itu pun memulai duluan pegang-pegang tangan, cubit-cubit perut, sampai cubit-cubit pipi. 

Guntur tidak bisa mengelak, dia sebenarnya tidak keberatan diperlakukan seperti itu, hanya saja Guntur merasa malu dengan rekan kerjanya yang lain. Tapi Nia acuh saja, tak peduli dan kerap melakukan itu ketika sedang berdua dengan Guntur.

"Nia, lo udah gila? Lo emang sahabat gua, tapi jangan berlebihan gini ah, malu sama yang lain," protes Guntur setengah berbisik.

"Hahaha, nyantai aja nggak sih, di sini gua yang paling senior, nggak bakalan ada yang berani ngusik gua," responnya santai. Dia kembali duduk tegak tak lagi menyandar di pundak Guntur.

"Kalau Supervisor liat, bisa-bisa kena sanksi kita, emang lo mau tanggung jawab?"

"Iya kagak, ini gua udah duduk biasa kan, gitu aja panik amat lo."

Guntur memutar bola matanya, geleng-geleng kepala, mencoba memaklumi segala tingkah dan kelakuan perempuan yang satu ini. "Hadeuhhh, kacau," responnya sambil mendengus.

Nia tersenyum centil, seolah gemas dengan respon Guntur barusan. "Eh, tapi selamat ya, lo sekarang udah dikontrak jadi karyawan, semoga makin betah ya, Beb!"

What? Dia panggil gua beb? Nggak salah denger nih, gua? Gumamnya dalam hati. Tapi Guntur tak mau ge-er dulu, mungkin dia cuma bercanda. 

"Iya, nggak kerasa, udah tiga bulan aja gua di sini."

"Gua mau ke warteg beli makan, lo mau nitip nggak? Apa mau ke warteg bareng, yuk?" ajak Nia.

"Gua nitip aja. Tapi boleh sih, kalau mau traktir gua, hehehe."

"Kebalik! Harusnya lo cowok, yang traktir gua!"

"Lo kan, lebih senior, gaji lo lebih gede dari gua, hehe," seloroh Guntur lagi.

"Hadeuhh, yaudah tunggu! Gua ke warteg dulu."

"Eh Ni–nia ..., ini duit nya ...." Guntur setengah berteriak, belum sempat dia memberikan uang itu, Nia sudah keburu melengos pergi. Seperti orang yang pura-pura tidak dengar ketika Guntur memanggilnya.

Satu hal yang baru diingat oleh Guntur siang ini adalah tentang kelanjutan hubungannya dengan Maya. Saking sibuknya, butuh waktu hingga tiga bulan baginya untuk bisa kembali menghubungi Maya. 

Kesibukannya di tempat kerja dan pertemuannya dengan Nia membuat Guntur lupa dengan perempuan itu. Maka, selagi Nia pergi ke warteg, dia membuka ponselnya dan mencoba mengirim pesan singkat kepada Maya. Hasilnya centang satu, mungkin Maya sedang sibuk pikirnya.

GunturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang