19. Kunjungan Demmie

519 55 4
                                    

"Perang?"

Gadis kecil berambut jingga keemasan dengan iris mata ruby mendengar pembicaraan 3 orang dewasa melalui permata khusus yang sengaja ia tinggalkan diruangan sebelumnya. Demmie memejamkan mata, menajamkan pendengarannya. Tak sia-sia ia membaca buku-buku kuno diperpustakaan dan pergi secara diam-diam ke pasar gelap untuk melihat-lihat barang juga menemui seseorang.

"Kalau papa akan pergi berperang, berarti kekuasaan sementara dipegang kakak dong?" Demmie menggigit kuku kesal, lalu kembali mendengarkan pembicaraan dengan seksama.

"Cih. Ini tidak bisa dibiarkan."

...

"Kiki. Tamu Duke sudah pulang?" Tanya Damian karena penasaran. Dia masih berusaha menulis surat, namun berkali-kali mengajukan pertanyaan pada Kiki guna mengalihkan perhatian.

"Belum. Beliau sedang membahas masalah yang penting." Sebutir keringat mengucur di pelipis Kiki.

"Tapi ini lama sekali... Memangnya siapa tamu yang ditemui Duke hingga dia tidak mengizinkan ku keluar?"

"Marquis Brennan."

"Hah? Marquis Bren... Siapa?" Damian memasang tampang bingung. Sepertinya dia tidak ingat kalau orang ini pernah muncul dalam cerita.

"Marquis Brennan. Anda tidak mengenalnya? Padahal rumor tentangnya sudah tersebar dimana-mana." Kiki menghembuskan napas, tidak habis pikir.

Damian menaikkan kedua kakinya keatas kursi sambil menggigit kuku, berpikir. Walau sudah berusaha mengingat-ingat, dia samasekali tidak bisa menemukan nama Brennan dalam otaknya. Apa karena nama depannya sulit? Kalau begitu, dia tinggal menanyakan latarbelakangnya.

"Countess Moira tidak pernah menyinggung orang ini saat menceritakan tentang para bangsawan. Dia cuma membicarakan pesta minum teh atau nona-nona muda yang seumuran dengan adik perempuan ku." Damian pura-pura menahan kesal. Membayangkannya saja merepotkan. Dia cuma diam sementara dua wanita membuat dunia sendiri seolah-olah menganggap Damian hanya patung pajangan.

"O-oh? Saya mengerti." Mendadak Kiki tergagap karena dia tahu bagaimana sikap Anevay pada Damian dan Demmie.

Kalau Anevay menganggap Demmie adalah permata, mungkin dia hanya menganggap Damian sebagai kerikil yang menghalangi jalan. Anehnya, Duke Eldridge samasekali tidak mempermasalahkan hal itu, dan malah mengurung Damian didalam kamar. Apa hubungan mereka sedang memburuk? Itu tidak mungkin. Duke Eldridge sering mengunjungi Damian secara diam-diam. Selain itu, Damian juga terlihat biasa saja.

"Bolehkah saya bertanya?"

"Hmm? Silahkan." Damian dengan senang hati menyambut pertanyaan Kiki.

"Mengapa anda tidak pernah datang ke ruang makan dan menghindari orang-orang?"

Senyum Damian yang semula terlihat tulus, kini sedikit berubah menjadi senyuman yang agak mengerikan. "Entahlah. Aku cuma tidak ingin pergi kesana."

"Baiklah. Maaf atas pertanyaan saya yang tidak sopan." Kiki membungkuk, meminta maaf. Sejujurnya dia agak penasaran dengan alasan Damian sebenarnya, namun itu tidak bisa menjadi alasan untuk seorang pelayan bertindak kurang ajar pada tuannya.

"Tidak apa-apa. Toh aku juga mengizinkan mu bertanya." Damian tersenyum cerah (?) sambil mengibaskan tangannya.

Kiki menghela napas lega, dia lalu mendongak saat Damian melanjutkan kalimatnya. "Selain itu, aku malas harus bolak-balik antara ruang makan dan kamar yang berjarak belasan meter. Aku ini baru sembuh loh? Kalau ditengah jalan aku pingsan bagaimana?"

"Penjaga tinggal menggendong anda kan?" Jawab Kiki polos.

"BUKAN BEGITU KONSEPNYA!" Damian yang sadar telah berteriak tiba-tiba tersadar dan merasa malu. Dia kan bukan anak-anak lagi.

"Saya minta maaf kalau jawaban saya kurang sopan." Lagi-lagi Kiki membungkuk.

"Tidak. Bukan begitu,-" Damian canggung sendiri.

Tok Tok Tok

Tiba-tiba pintu di ketuk, membuat perhatian dua orang teralihkan. Damian dan Kiki menoleh kearah pintu.

"Kak! Aku masuk ya?"

Suara ini! Tubuh Damian menegang kala pintu terbuka, menampilkan sosok anak perempuan bergaun merah dengan senyuman mengembang.

"Demmie? Kenapa kau kesini?" Damian refleks berdiri.

"Memangnya ada larangan untukku menemui kakak?" Lengkungan indah terbit dibibir dan mata Demmie, amat mempesona.

Kalau saja disini ada setidaknya satu tuan muda, dia pasti sudah terpikat. Sayangnya baik Damian maupun Kiki samasekali tidak tertarik ( karena mereka mengenal Demmie )

"Memang tidak. Tapi aku tidak ingin menemui mu." Kedua tangan Damian disilangkan.

Demmie agak terkejut, namun dia tidak melunturkan senyumannya dan malah masuk kedalam kamar sebelum diizinkan. "Kakak sudah baikan? Maaf baru menjenguk sekarang. Papa melarang semua orang masuk ke kamar kakak kecuali tabib, Kiki dan James." Demmie berhenti disamping Kiki, menatapnya penuh arti sambil terus tersenyum.

"Bahkan aku yang sedarah dengan kakak dilarang masuk. Beruntung sekali pelayan satu ini." Suara Demmie membisik diiringi seringaian tipis yang terkesan meremehkan.

Sebuah gejolak memenuhi dada Kiki dan dia merasa mual.

"Gadis ini..."

"Sudahlah Demmie! Kiki! Bisa kau keluar sebentar? Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya."

Demmie kembali tersenyum cerah, sementara Kiki berusaha menolak perintah Damian namun gagal.

"Kalau anda membutuhkan sesuatu, panggillah saya."

Damian mengangguk, lalu Demmie melambaikan tangan sambil berseru. "Ya~ Ya~ Selamat tinggal! Jangan menguping pembicaraan kami ya? Pelayan tidak beretika." ^^

Urat-urat kemarahan sudah tercetak jelas di dahi Kiki. Ingin sekali dia memukul nona sombong ini. Tidak! Dia bahkan tidak pantas dipanggil nona.

.

.

.

BERSAMBUNG

"Kalau Demmie berusaha melindas orang-orang, maka Damian berusaha mendalami perannya tanpa mengubah alur cerita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau Demmie berusaha melindas orang-orang, maka Damian berusaha mendalami perannya tanpa mengubah alur cerita."

As the Main Antagonist's Older BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang