05 - Nuraga yang Kian Membesar

20 5 0
                                    

Maa syaa Allah kamu kenapa bisa imut banget, sih ...,” ucap Silfia gemas sambil memegang tangan mungil Adeeva, adiknya Arya.

Ia ingin mencubit pipi bayi itu, tapi takut. Bekas luka karena kecelakaan tempo hari di wajah mungil Adeeva, belum sepenuhnya sembuh.

Silfia pun terdiam, mengamati sekujur tubuh bayi mungil itu. Allah benar-benar Maha Kuasa, padahal kecelakaan hebat telah menimpanya sampai harus merenggut nyawa ayah dan ibunya, tapi luka di tubuh Adeeva sama sekali tidak parah. Lukanya nampak sebatas bekas goresan, itu pun pada wajahnya saja.

“Maaf, Bu. Hari ini kami udah ngerepotin Ibu sama bapak muluh,” kata Arya sembari menunduk.

Nara mengusap pelan pangkal lengan Arya sebentar. Anak laki-laki itu memang selalu saja merasa telah merepotkan banyak orang.

“Jangan ngomong gitu, Nak. Kami gak ngerasa direpotin, kok. Justru Ibu senang karena bisa ngerawat bayi lagi. Ini Ibu udah 15 tahun lebih gak ngerawat bayi, loh. Bayinya udah gede soalnya. Nih, Silfia.”

Gadis yang ditunjuk hanya tersenyum, sementara Arya membalas ucapan Nara dengan hobinya yang suka cengar-cengir.

“Adeeva gak nangis 'kan, Bu?”

Silfia merasa tersentuh melihat Arya mengusap-ngusap rambut adiknya dengan sangat lembut dan sayang.

Dua jam telah berlalu, namun Arya belum pergi juga. Adeeva pun kembali tertidur untuk yang kedua kalinya, di dalam rumah orang tua Silfia.

Rasa nuraga kian membesar, melihat Arya terus duduk diam di depan teras dan memandang kosong jauh ke hadapan.

Dari ambang pintu, Silfia memandangi, tanpa tahu apa yang tengah di pikirkan oleh laki-laki itu.

Kakinya pun tergerak untuk melangkah, mendekati Arya. Silfia lantas duduk tepat di sebelahnya.

Dengan cepat Arya memalingkan wajah serta menyeka air yang terus jatuh dari kedua matanya.

“Kak?”

“Iya?” jawabnya, tanpa menoleh sedikit pun.

“Abis ... nangis, Kak?”

Sebuah pertanyaan yang dilontarkan dengan perasaan ragu. Takut jika Arya menganggapnya terlalu ikut campur.

“Hm? G--gak, kok.” Kepalanya menunduk.

Menjawab dengan sedikit terbata membuat kebohongan semakin nyata. Silfia menyadari hal itu.

“Nangis itu gak papa, kok. Aku pun gak akan ketawain Kakak.”

Pandangan Arya kembali terangkat. Ia menoleh pada gadis yang ucapannya berhasil menarik perhatian.

Mata Arya terus menatap Silfia hingga gadis itu yang gantian mengalihkan wajahnya.

“Maafin gue, Sil.”

Mengapa tiba-tiba?

“Maaf buat?”

“Gue udah banyak ngerepotin keluarga lo.”

Nuraga untuk AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang