16 - Jawaban dari Kebingungan

12 2 0
                                    

Silfia baru kembali dari pasar yang sangat dekat dengan rumahnya. Tiba di teras rumah, langkahnya terhenti. Telinganya menangkap suara seseorang yang sangat tidak asing dari dalam rumah.

Syauqi. Rasanya sudah lama ia tidak bertemu langsung dengan abangnya itu. Padahal kedua tangannya masih mengenggam penuh kantong belanjaan, tapi Silfia tak dapat lagi menahan rasa haru.

Syauqi dan Husain pun langsung menghampirinya. Husain mengambil semua kantong belanjaan itu dan membawanya ke ruang dapur.

Silfia terdiam lama. Memerhatikan wajah serta tubuh Syauqi yang menjadi tirus dan kurus.

"Kakak pulang kenapa gak ngabarin Silfi?"

"Ya ... biar surprise?"

Rasa rindu yang terus tertahan membuat Silfia maju selangkah untuk segera memeluk Syauqi. Tangisannya kembali pecah.

"Udahlah. Nangis muluh kek aku gak pulang seratus tahun aja."

Silfia bak tidak mau melepas pelukan pelepas rindunya. Syauqi tentu paham hingga akhirnya ia membalas pelukan itu. Menyandarkan kepalanya di atas kepala adiknya seraya mengusap-usap kepala Silfia yang tertutup jilbab hitam.

"Kamu sekarang udah tinggi, ya?"

"Yang ada Kakak yang makin tinggi."

"Aku makin tinggi harusnya kamu bahagia, dong. Bukan malah makin nangis," ucap Syauqi yang ingin menghibur hati Silfia.

"Kakak soalnya kurus banget sekarang, kayak gak makan berabad-abad tau."

Husain yang telah kembali dari dapur sontak menertawakan ucapan Silfia. Pun Syauqi sama.

Dan akhirnya Silfia melepaskan pelukannya untuk bertanya, "Kakak di sana gak ada yang masakin pasti?"

"Iyalah."

"Tuh, kan! Pantesan jadi kerempeng kayak gini."

Syauqi kembali menarik Silfia ke dalam dekapannya sambil tercengar-cengir sebelum berucap, "Karena aku udah di sini, aku bakalan makan apa pun yang kamu masakin."

"Beneran?"

Syauqi memberi anggukan. "Kebetulan aku udah lapar."

"Oke, siap! Kakak duduk lagi aja dulu di sana sama Ucen. Silfi otw masak. Beneran dimakan tapi, ya?"

"Iya ...."

Silfia mengulas senyum sembari menyeka pipinya yang basah. "Kamu juga makan, ya, Cen. Awas aja kalau gak mau."

"Iya, Sil. Pasti aku makan, kok."

Silfia memandangi wajah Syauqi yang begitu lahap mengunyah makanannya. Perasaan sedih kembali menyerang melihat cara abangnya itu makan. Sungguh bak Syauqi belum makan berabad-abad lamanya. Apakah seperti ini yang sering orang-orang bilang? Katanya, "Cowok kalau makan kelihatan kasihan."

Silfia pun tersenyum melihat Husain makan dengan santai seperti biasanya. Gadis itu duduk di hadapan Syauqi dan Husain hanya untuk memandangi mereka makan.

"Kakak di sini bakalan lama gak?"

Syauqi mengangguk lalu menjawab, "Seminggu."

"Lama dari mana coba?!"

Husain keselek dan buru-buru meneguk minumnya saat mendengar Silfia tiba-tiba berteriak dan memukul meja makan.

"Justru kamu harus bersyukur soalnya aku bela-belain datang demi kamu yang ...."

Silfia jelas melihat Husain menyikut pinggang Syauqi. Mata sang paman mudanya itu juga berkedip-kedip dengan cepat. Seolah ia sedang berusaha menyembunyikan suatu hal.

Nuraga untuk AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang