08 - Haru Dibalik Tawa

14 3 0
                                    

Syauqi sudah berada di jenjang akhir SMA, membuat laki-laki itu harus tinggal lebih lama di sekolah dibanding hari-hari sebelumnya. Dan, banyak hari telah terlewati di mana biasanya ia selalu pulang bersama dengan adiknya.

Karena merasa iba setelah berkali-kali melihat Silfia harus menunggu lama di sekolah, Arya pun meminta izin kepada Rendra, Nara, dan juga Syauqi. Sudah beberapa pekan berlalu sejak mereka memberikan izinnya, sebab itulah Silfia lebih sering pulang bersama Arya ketimbang harus menunggu Syauqi.

Silfia merasa lama-lama dirinya bisa berubah menjadi princess kering di sekolah, bila setiap harinya harus menahan sabar untuk sekedar menunggu abangnya keluar dari kelas, karena masalah kelas tambahan yang mau tidak mau harus diikuti oleh Syauqi.

Setelah pulang sekolah, Arya dan Silfia langsung menuju rumah orang tua Silfia di panti. Arya tidak punya keberanian untuk mengantar Silfia langsung ke rumah kedua gadis itu. Silfia pernah meminta untuk diantarkan langsung ke rumahnya saja, tapi Arya menolak.

Di hari kedua pulang bersama, mereka tidak menggunakan motor untuk berboncengan lagi. Arya memilih untuk mengendarai mobil pribadinya ke sekolah.

"Gue takut kena fitnah kalau terus-terusan pulang bareng lo boncengan pake motor. Ya, pake mobil pun gak bakal menjamin bebas dari fitnah, tapi in syaa Allah minim fitnahlah."

Silfia sampai tidak bisa berkata-kata mendengar alasan Arya itu.

"Tidak kalah penting, Deeva juga bakal lebih aman kalau gue antar-jemput dia di rumah orang tua lo pake mobil ketimbang pake motor, kan?"

'Nah, kalau ini aku setuju banget!' Silfia membatin sembari memberi anggukan.

Hampir seisi sekolah tercengang melihat Arya saat pertama kali mengendarai mobilnya ke sekolah. Di saat semua murid di sekolah berangkat dan pulang selalu menggunakan motor, hanya Arya yang tampil berbeda sendiri dengan mobil pribadi miliknya.

Waktu yang menuntun Silfia untuk semakin sering mampir ke rumah orang tuanya terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah, membuatnya bisa menyaksikan dan menemani Adeeva, di saat bayi itu mulai belajar melangkahkan kakinya.

"Deeva ... sini jalan ke Arya."

Silfia yang hanya diam sambil tersenyum melihat Adeeva yang masih berusaha melangkahkan kakinya, berubah terkejut ketika adiknya Arya itu tiba-tiba berbelok ke arahnya.

Karena merasa agak takut jikalau sampai Adeeva terjatuh, dengan cepat Silfia mendekati dan menangkap badan mungil itu.

"Maa syaa Allah ... Deeva hebat udah bisa berjuang jalan sampai sini." Silfia merasa gemas, terharu, dan refleks memeluk si mungil dalam sejenak.

Arya pun ikut mendekat dan menowel-nowel pipi Adeeva.

"Dari tadi Deeva emang selalu noleh ke lo, Sil," ungkapnya.

"Oh, ya? Deeva maunya ke Silfi, ya?" tanya Silfia dengan terus menatap gemas wajah imut Adeeva.

"Pipi."

Satu kata yang keluar dari mulut Adeeva itu membuat Silfia sontak mendelik dan melirik Arya. Laki-laki itu menatap Silfia dengan mendelik pula. Keduanya sama-sama tidak menyangka akan mendengar Adeeva mulai pandai mengucapkan kata yang jelas untuk pertama kalinya.

"Coba ulang, tadi Deeva bilang apa?" tanya Arya.

"Aaaa, maa syaa Allah ...." Mata Silfia tiba-tiba terasa perih---ingin menangis---saking terharunya.

Namun, Adeeva tidak mengulang ucapannya lagi. Ia hanya tertawa dengan begitu riang.

"Sil ... dia bilang apa tadi?"

Nuraga untuk AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang