12 - Mengharukan

10 2 0
                                    

Adeeva sudah begitu lancar melangkahkan kedua kaki mungilnya. Ia juga sudah pandai berbicara satu-dua kata, walaupun pengucapannya belum terlalu jelas. Terkadang ada beberapa kata yang harus dicerna oleh Silfia agar bisa memahami perkataan bayi itu.

Dan, akhir-akhir ini Arya lebih sering mampir ke rumah tempat Silfia dan Syauqi tinggal, karena Adeeva yang terus ingin bermain bersama dengan Pipi-nya.

Silfia sangat senang bila mereka mampir, karena kesempatan untuk bermain bersama Adeevalah yang memang selalu ditunggu-tunggu. Namun dibalik itu semua, ia juga merasa kasihan kepada Arya yang rela bolak-balik demi menyenangkan hati adik kecilnya.

"Padahal beberapa menit yang lalu, gue baru aja balik dari sini. Sampai di rumah, eh, Deeva malah rewel lagi sambil manggil-manggil nama lo, Sil. Ya, terpaksa gue ke sini lagi, deh. Gue minta maaf, ya," ucap Arya.

"Gak papa 'kok, Kak. Kapan pun kalau Deeva mau main ke sini ... ya, bawa ke sini aja."

"Bener tuh, Ar. Lagian ada Adeeva gue kek senang aja gitu. Bawaannya pengen full senyum liat tingkah gemes dia." Syauqi tertawa pelan.

Hari sudah sore dan kebetulan hari ini Syauqi tidak ada kelas tambahan. Makanya Silfia bisa langsung pulang ke rumah bersamanya, bukan bersama Arya. Dan tanpa mampir lagi ke panti.

"Adeeva kek gak mau banget jauh dari Silfi, Qi."

"Kita sebagai cowok gak tau, Ar ... perasaan antara cewek itu gimana. Mungkin aja mereka berdua punya semacam ikatan batin gitu, kan?"

Arya masih dengan kebiasannya yang suka cengar-cengir pun berkata, "Iya, sih. Kita gak tau, ya, Qi?"

"Yoi ... lagian Fia kalau misal dia masih bayi juga, nih. Mungkin dia bakalan rewel juga pengen ketemu sama Adeeva muluh. Gak liat Adeeva sehari aja dia langsung 4L: Lemah, letih, lesu, dan loyo."

Meskipun tengah digosip, Silfia tetap berpura-pura tidak mendengar omongan mereka dan hanya fokus mengikuti ke mana Adeeva berjalan.

Ia takut. Bisa saja bayi itu terjatuh atau sampai kejedot sesuatu lalu menangis? Silfia menggeleng untuk membuang jauh-jauh pikiran buruknya.

"Pipi-Pipi ... ini apa?"

Silfia bertekuk lutut sambil ikut menunjuk. "Ini namanya bunga mawar, Deeva."

"Unga mawal?"

"Iya, bunga mawar. Ih, maa syaa Allah pinternya."

Silfia tersenyum. Gemas melihat Adeeva bertepuk tangan sambil tertawa menatap beberapa bunga mawar palsu di atas sebuah vas keramik.

"Melah?"

"Maa syaa Allah, iya. Warnanya merah."

Adeeva mulai meloncat-loncat girang sembari menunjuk bunga mawar itu.

"Adeeva mau bunganya?"

Anggukan berkali-kali diberikan dan membuat Silfia segera berdiri. Mengambil satu bunga mawar palsu itu dari vas, lalu memberikannya kepada Adeeva.

Sesaat bunganya sudah ada di tangan Adeeva, anak itu tiba-tiba berlari. Sontak Silfia dengan jiwa keibuannya mengikuti. Rasa takut bila Adeeva terjatuh atau kejedot sesuatu, terus saja menyerang pikiran.

Hati Silfia akhirnya merasa tenang saat melihat Adeeva ternyata berlari menuju Arya. Gemas sekali ketika Adeeva memberi bunga di tangannya kepada abangnya itu.

"Makasih, Deeva. Ini bunga dari Deeva buat Arya?"

Silfia mengenyit saat Adeeva malah menggeleng. Gadis itu sontak mendelik sebentar ketika Adeeva tiba-tiba menunjuk ke arahnya.

Nuraga untuk AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang