13 - Hilang Berani

11 2 0
                                    

"Lo bercanda, kan, Sil?"

Terlalu sering pulang bersama, perasaan canggung pun timbul. Terutama setiap kali Silfia harus duduk di sebelah Arya yang akan sibuk mengendarai mobil selama beberapa menit menuju panti asuhan.

Arya mengurungkan niatnya yang ingin membuka pintu mobil di sisi kursi kemudi, untuk menghampiri Silfia. Pintu belakang sisi kiri mobil yang telah dibuka oleh gadis itu, ditutupnya kembali.

Tangannya pun membuka pintu depan mobilnya bersamaan dengan seriusnya ia berkata, "Duduk di sini gak."

"Aku pengen duduk di belakang aja, Kak."

Silfia lupa bahwa Arya tidak suka diprotes. Akibatnya pergelangan tangan gadis itu tiba-tiba ditarik dan ia didorong seketika ke dalam mobil. 

"Kaki lo pindahin!" tegas Arya.

Saat Arya telah duduk di kursi kemudi, Silfia sama sekali tidak berani menoleh. Bahkan ia duduk tegap dan begitu kaku seraya terus menunduk. Atmosfer ketegangan merajai. Bak sedang bersama dengan orang asing yang hendak berniat jahat.

"Sil," panggil Arya lirih.

Akan tetapi ketegangan yang sedang dirasakan oleh Silfia, membuat gadis itu malah terkejut dan sontak menangis.

Kata maaf terus berulang-ulang dituturkan Arya meski sang gadis enggan untuk menoleh.

Silfia tetap diam. Ketakutan belum sepenuhnya menghilang. Ia melayangkan pandangannya ke luar jendela. Sebenarnya dirinya juga malu.

'Kenapa aku sampai harus nangis, sih?! Malu-maluin banget!' Batinnya menjerit.

"Sil, lo marah, ya, sama gue?"

Silfia mendiamkan, bukan karena marah. Perasaannyalah yang belum sepenuhnya stabil hingga ia memilih untuk diam. Jantungnya masih saja berdebar ketakutan setiap kali mendengar suara Arya. Baru kali ini kakak kelasnya itu memperlakukannya dengan kasar.

"Gak peduli lo dengar omongan gue apa gak, intinya gue mau ngomong, Sil."

Sang gadis mulai merasa luluh. Kepalanya yang sejak tadi hanya menoleh ke jendela, akhirnya kembali menatap lurus ke jalan. Bersiap untuk mendengar apa yang akan disampaikan oleh Arya.

"Di kelas gue, hampir semua teman gue udah tau kalau lo sekarang ternyata gak punya pacar, Silfia. Telinga gue beneran panas banget dengarin mereka katanya pengen naklukin hati lo. Gue gak bakalan pernah terima kalau sampai lo lemah dan takluk sama salah satu dari mereka. Gue yakin Uqi juga sependapat sama gue. Pokoknya lo milik gue! Mereka gak ...."

Arya menginjak rem secara mendadak. Bicara apa dia barusan?! Bersamaan dengan itu, Silfia juga menatapnya dengan tiba-tiba. Jelas sorot mata gadis itu menyimpan sejuta keheranan. Bunyi klakson kendaraan lain di belakanglah yang menyadarkan Arya untuk segera melajukan mobilnya kembali.

Gadis yang sedang duduk di sebelahnya terus menatap, menunduk, dan menatapnya lagi. Berulang kali terjadi.

Ada pepatah yang mengatakan, "Mulutmu adalah harimaumu." Sepertinya Arya kini sangat mengerti apa maksud peribahasa itu.

Atmosfer ketegangan yang tadinya dirasakan Silfia, seketika langsung berpindah kepadanya. Inikah yang dinamakan sebuah pembalasan langsung dari-Nya?

Tiba di panti, keduanya masih saling mendiamkan. Silfia keluar duluan dari mobil. Bersiap untuk menangkap tubuh Adeeva yang sedang berlari gembira, menyambut kedatangan mereka.

"Akak Pipi ...."

Silfia mendekap tubuh mungil Adeeva dengan sayang. Hanya sebentar, karena bayi itu tiba-tiba melepas pelukannya dan berlari menuju Arya yang langsung mengangkat dan mencium pipinya.

‘Pokoknya lo milik gue!’

Suara Arya lagi-lagi terngiang di pikiran, sesaat Silfia menoleh dan ketika pandangan mereka bertemu sebentar. Dengan segera gadis itu melangkah menuju sebuah kamar di dalam rumah orang tuanya.

Kata-kata Arya terus mengusik pikiran. Silfia tahu bahwa sahabat abangnya itu memang menyukai dirinya dan ia tidak mempermasalahkan hal itu.

Rasa suka, kagum, dan cinta adalah karunia dari Allah yang ditanamkan dalam hati manusia. Mengapa harus protes bila Arya memiliki perasaan itu? Bukankah itu fitrah?

Yang terpenting, sejauh Arya menyukai Silfia, ia tidak pernah bertingkah kelewatan. Sebab bagaimana pun juga, ia dan gadis itu bukanlah mahrom. Harus ada batasan di antara mereka.

Rasa suka kepada lawan jenis itu normal. Yang sangat tidak normal itu jikalau sukanya sama sesama jenis.

"Aku milik dia?"

Silfia menyadari, bisa saja Arya keceplosan. Namun, suatu ungkapan yang terucap karena keceplosan, biasanya ungkapan itulah yang terus dipendam dan tersimpan di hati maupun pikiran.

"Emang dia tau jodohnya nanti siapa? Belum tentu aku. 'Pokoknya lo milik gue!' kata dia? Terlalu berharap kayak gitu takutnya malah buat dia nanti sakit hati kalau ternyata yang dia harapkan gak sesuai ekspektasi."

Bukan marah, namun Silfia lebih memikirkan perasaan Arya. Bagaimana jika ternyata mereka tidak berjodoh di saat Arya sudah menganggap Silfia sebagai "miliknya".

Sontak Silfia menoleh ketika Nara membuka pintu kamar.

"Kamu dicariin sama Adeeva, Sayang."

"Bentar lagi Silfi keluar, kok, Bu."

Mengapa ketika mata menangkap sosok yang harus diakui bahwa Arya memang tampan, keberanian untuk mendekat perlahan bak menghilang dari diri?

Arya segera menunduk ketika ujung matanya menangkap bayangan Silfia tengah berjalan mendekat. Menyesal. Entah apa hikmah dibalik keceplosan itu. Yang jelas sekarang dirinya juga dilanda rasa malu.

Adeeva menyambut Silfia dengan riang. Menarik tangannya untuk segera bergabung dengan dirinya dan juga Arya yang telah lebih dulu bermain bersamanya.

"Kita mainnya di dalam kamar aja, boleh?"

Adeeva mengangguk. "Cama Yaya juga."

No way!

Ada rasa terpaksa bagi Silfia untuk ikut duduk di lantai, tepat di dekat Arya, demi menyenangkan hati Adeeva. Tidak peduli berapa kali Silfia meminta untuk bermain bersama Adeeva, berdua di dalam kamar saja, jika tidak bersama dengan Arya, bayi itu sudah pasti akan merengek. Sifat keras kepala Arya memang menurun ke adiknya. Silfia sudah sangat tahu akan hal itu.

Dan, sekarang suasananya sedikit berbeda dari banyak hari yang telah berlalu. Baik Silfia maupun Arya, keduanya sama-sama merasa canggung. Padahal berada di dekat Adeeva biasanya selalu membuat keduanya bisa melupakan kecanggungan. Namun sekarang hal itu seakan tidak berlaku lagi.

Arya terus mengutuki diri. Kecanggungan di antara mereka pasti tidak akan terjadi apabila ia tidak keceplosan. Tapi, apa yang harus dilakukan? Menyesal pun tidak dapat mengulang waktu untuk memperbaiki apa yang telah terjadi.

Meskipun harus dilanda rasa tidak rela, tapi Arya siap menerima apa pun yang akan terjadi ke depannya.

"Anggaplah keceplosan itu sebagai hukuman, karena gue udah bikin adik lo nangis, Qi."

"Suka sama adik gue emang seribet itu, ya?" Bukannya marah, tapi Syauqi malah mengakak.[]

Nuraga untuk AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang