Beberapa bulan yang lalu ....
Silfia sedang berjalan kaki menuju Panti Asuhan An-Nur II milik kedua orang tuanya. Sebenarnya, sesuai dengan rencana, dia akan berangkat bersama dengan Syauqi menggunakan motor. Namun di kamarnya, Syauqi ternyata malah tertidur. Karena merasa tidak tega untuk membangunkan, Silfia berinisiatif untuk jalan sendiri saja ke panti.
Lokasi panti dari rumahnya lumayan jauh jika tanpa berkendara. Tapi Silfia mengambil alternatif lewat satu jalan pintas agar dia bisa segera sampai di panti. Ia melewati sebuah gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki saja.
Di ujung gang akan ada sebuah rumah mewah yang sangat-sangat mewah. Dan itulah rumahnya Arya.
Saat Silfia tengah berjalan di depan pagar rumah mewah itu, pandangannya teralih fokuskan pada seorang ibu hamil berkerudung yang nampak sedang kesakitan hingga hampir saja terjatuh. Andai Silfia tidak segera berlari dan menopang tubuh ibu itu, mungkin sang ibu---yang ternyata adalah ibunya Arya---akan jatuh tersungkur.
Silfia merasa panik sampai tidak tahu harus berbuat apa. Dia tadinya ingin meminta tolong, tapi halaman rumah itu begitu luas dan entah memang tidak ada orang sama sekali di sekitar sana atau bagaimana. Di matanya yang terlihat hanyalah sepi. Bahkan pos satpamnya tidak memiliki tanda-tanda ada pergerakan manusia di sana.
“T--tolong, panggilkan pak Rudi sekarang ....”
“P--pak Rudi siapa, Bu?” Tentu Silfia tidak mengenal siapa orang yang ibunya Arya maksud. Saat itu, jangankan pak Rudi, Silfia bahkan tidak mengenal ibu yang sedang dia bantu itu siapa.
Ponsel yang dari tadi dipegang oleh ibunya Arya dengan tangan gemetaran, disodorkan dengan gemetaran pula kepada Silfia.
Masih dicekam rasa panik, Silfia langsung menerima ponsel itu, membuka kontak, dan mencari nama Rudi di sana.
Ketemu!
“H--halo, Pak. I--ini aku gak tau Bapak siapa, tapi cuma Bapak yang namanya Rudi di kontak ibu ini---”
“Tolong segera bawa mobil ke sini, Pak. Bayinya ...,” kata sang ibu.
Belum juga panggilannya berakhir, mobil yang mungkin punya kekuatan super tiba-tiba muncul di belakang mereka. Ya, Silfia merasa begitu sebab tadi keadaan sekitar benar-benar sepi. Bahkan suara mesin mobil itu pun tidak terdengar oleh telinganya. Mobil orang kaya memang beda.
Tanpa berpikir lagi, Silfia langsung menuntun ibunya Arya menuju hingga masuk ke dalam mobil.
Sedikit pun Silfia tidak memiliki niat untuk ikut. ‘Siapalah aku? Cuma orang asing yang kebetulan lewat aja, masa harus ikut?’ Begitulah kata hatinya.
Namun, ibunya Arya tidak melepas genggamannya dari tangan Silfia. Genggamannya pun begitu kuat.
“Mohon kamu ikut aja, Nak,” pinta Rudi yang dari tadi ikut terlihat panik.
~~~
Mereka tiba di sebuah rumah sakit besar. Genggaman tangan ibunya Arya seakan masih tidak ingin melepas tangan Silfia.
Mata Silfia menangkap jelas cucuran keringat di kening sang ibu yang tengah menahan rasa sakit pra melahirkan.
Silfia merasa iba. Matanya perih. Ingin rasanya menangis. Tiba-tiba bayangan wajah sosok ibu yang telah melahirkannya terbayang. Dia berpikir: Apakah ketika ibunya akan melahirkan dirinya, sang ibu harus menahan rasa sakit sedahsyat yang dilihatnya dari sosok ibu yang tengah menggenggam tangannya dengan kuat ini?
Genggaman tangan ibunya Arya baru terlepas setelah beberapa bidan dan perawat berlarian menghampiri mereka.
Silfia mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipi melihat ibunya Arya telah masuk ke sebuah ruangan, dibawa oleh para bidan dan perawat. Hatinya penuh harap, semoga persalinan sang ibu bisa berjalan dengan lancar dan selamat.
Silfia berbalik badan. Waktunya melanjutkan perjalanan menuju panti. Namun, langkahnya terhenti ketika Rudi menghalangi jalan sembari menyodorkan sebuah ponsel di hadapannya.
“Ada apa, Pak?”
Rudi memohon agar Silfia ingin membantu sekali lagi dengan menelpon tuannya alias suami ibunya Arya. Ponsel Rudi ketinggalan dan lelaki paruh baya itu mengaku jika dirinya tidak mengerti cara mengaplikasikan ponsel layar sentuh.
Silfia menjadi iba pada Rudi. Ia akhirnya mengambil ponsel itu dari tangan Rudi lantas mengecek riwayat panggilan. Matanya langsung tertuju pada sebuah riwayat panggilan yang bertuliskan nama ayah.
Sebelumnya, Silfia telah bertanya pada Rudi tentang kontak itu, dan kata Rudi, istri tuannya memang selalu memanggil suaminya dengan panggilan ayah.
“Halo?”
Silfia kaget mendenger suara di balik telepon. Suaranya terdengar seperti cool boy. Tidak mirip suara bapak-bapak seperti yang ada di dalam ekspektasinya.
“Ayah baru pulang dari kantor dan sekarang ayah gak tau ada di mana. Ini hp-nya ditinggalin gitu aja di atas sofa.”
Dengan menebak bahwa yang mengangkat telepon ini sudah pasti anak ibu yang tadi, membuat Silfia malah semakin terdiam lama.
“Bu? Ibu kenapa malah diam aja?”
“Astaghfirullaah,” mata Silfia mendelik sebentar, “m--maaf sebelumnya, aku cuma mau kasih tau kalau ibu kamu sekarang lagi ada di rumah sakit---”
“Ru--rumah sakit?! Please, kasih tau rumah sakit mana?! Buruan!” Suara Arya langsung berubah panik.
Dan ketika Silfia menyebut nama awal rumah sakit itu, panggilan teleponnya sudah diakhiri oleh Arya.
Tidak lama menunggu, seorang bapak-bapak yang mengenakan kemeja biru serta dasi hitam bersama satu remaja laki-laki yang style-nya sungguh nampak seperti seorang cool boy---sangat cocok dengan suaranya dari balik telepon tadi---datang sambil berlari. Napas mereka terengah-engah ketika telah tiba di hadapan Rudi.
Di saat mereka semua kelihatan panik, Silfia berniat akan pergi secara diam-diam. Ia sudah berbalik badan, tapi tiba-tiba dirinya dipanggil oleh seseorang.
“Nak ....”
Silfia merasa tidak bisa mengabaikan panggilan itu. Dia kembali berbalik badan dan mendapati Arya dan ayahnya telah berjalan mendekat.
Ayah Arya terus mengucapkan banyak terima kasih sampai mengeluarkan rupiah dari dompetnya, tapi Silfia menolaknya dengan sopan.
Sementara Arya, dia hanya tersenyum dengan tulus, terdiam, dan terus menatap sang gadis yang baru pertama kali dilihatnya.
Silfia sama sekali tidak berpikir untuk meminta imbalan. Berkali-kali ia menolak hingga memberi tahu alasan jika dirinya harus segera pergi, dan akhirnya ayah Arya mengalah juga.
Namun setelah keluar dari rumah sakit, Silfia berubah pikiran. Tadinya dia memang ingin ke panti asuhan, tapi tenaganya telah terkuras oleh rasa panik. Dan dia pun memilih untuk kembali pulang ke rumahnya saja.
Silfia duduk di sebuah halte bus. Apakah untuk menunggu sebuah bus datang lalu dia akan menumpanginya menuju rumah? Bukan. Dia duduk di sana untuk menunggu kedatangan Syauqi yang tadinya sudah mengomel melalui telepon, karena Silfia malah pergi duluan ketika mereka telah berencana untuk pergi bersama.
Tapi ada hikmahnya Silfia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalan menuju panti. Jika saja ia sampai ke panti tanpa ditemani oleh Syauqi, habislah abangnya itu. Tentu Syauqi akan mendapatkan omelan dari kedua orang tua mereka.
Silfia mendongkol, ‘Dia yang abis mandi bukannya langsung siap-siap, malah ngorok. Jadi, salah dia, kan? Harusnya aku yang marah gak, sih?!’
()()()
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuraga untuk Arya
Teen FictionArya adalah orang yang ternyata sudah pernah bertemu dengan Silfia. Hanya saja pertemuan mereka saat itu sangatlah singkat dan dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk terjadinya suatu perkenalan. Tapi satu yang pasti, senyuman tulus Arya kala it...