15 - Berbeda atau Masih Sama?

12 3 0
                                    

Lulus SMA dengan nilai yang memuaskan adalah dambaan setiap orang yang diberi kesempatan untuk bisa menimba ilmu di sana. Namun untuk langkah setelahnya, setiap insan punya pilihan yang berbeda.

Silfia. Meskipun nilainya memuaskan, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan. Gadis itu lebih memilih untuk membantu kedua orang tuanya di panti.

Rendra dan Nara pun menyetujui pilihan putri mereka, mengingat banyak pertimbangan untuk seorang anak perempuan ketika harus keluar dan jauh dari rumah.

"Kamu itu anak perempuan kami satu-satunya. Kamu gak bisa bebas keluar kalau gak ditemanin sama mahrom kamu. Dan Uqi udah jauh. Kecuali kalau kamu mau sekampus sama Uqi, ya ...." Rendra tidak melanjutkan ucapannya melihat Silfia malah menunjukkan wajah yang cemberut.

Silfia tahu ke mana pembicaraan Rendra akan pergi. Lekas ia berkata, "Silfi gak mau, Pak. Di kampusnya kak Uqi rata-rata jurusannya itu jurusan yang gak Silfi suka. Soalnya nguras otak banget. Ini aja Silfi heran sama kak Uqi. Dia gitu-gitu aja tapi ternyata ngincar jurusan matematika di kampusnya? Kalau Silfi jadi kak Uqi, kepala ini auto botak, sih."

Rendra tak kuasa menahan tawa setelah mendengarkan omongan panjang lebar putri bungsunya itu.

Masih dalam proses berhenti dari tawa, Rendra pun menyarankan, "Kamu tunggu Husain lulus aja, mana tau dia milih kampus yang nantinya kamu juga suka sama jurusan yang ada di sana?"

"Silfi udah tanya Ucen, kok. Tapi dia malah bilang, 'Kayaknya aku bakalan mondok aja, Sil. Aku gak mau kuliah,' gitu. Dia juga udah berkali-kali ngajak Silfi ikut mondok aja sama dia. Tapi gimana, ya? Di pondok, santri sama santriwatinya udah jelas dipisah, kan? Silfi sama Ucen sama aja kek gak satu sekolah nantinya, kan? Silfi, sih, pengennya ketemuan terus sama Ucen, Pak."

"Hm ... mentang-mentang adik Ibu itu ganteng, kamu malah gak mau jauh-jauh dari dia," kata Nara yang datang dari ruang dapur sembari membawa tiga cangkir teh hangat.

"Jelas, loh, Bu. Andai dia bukan mahromnya Silfi, dari kemarin Silfi udah pasti minta dinikahin aja sama dia." Silfia tertawa. Menatap Nara dan Rendra secara bergantian.

Rendra menggeleng tanpa menghilangkan keceriaan di wajahnya. "Ya, tapi kalau dia bukan mahrom kamu, kamu gak bakalan bisa sedekat itu sama dia, Nak."

"Iya, Silfi tau. Silfi cuma berandai doang, Pak. Cukup jadi ponakannya om Husain yang maa syaa Allah ganteng banget, Silfi udah bersyukur, kok."

Baru saja Silfia mengenakan helm sebab ingin kembali ke rumahnya setelah memperkirakan Husain telah pulang dari sekolah, tiba-tiba telinganya jelas menangkap suara seseorang yang datang dari arah punggungnya.

Gadis itu mengerutkan dahi ketika menatap seseorang. Bukan lupa, tapi memang terasa sudah lama tidak bersua dengan sang pemilik suara.

Adeeva. Kakinya berlari lincah untuk segera melepas kerinduannya kepada Silfia.

Haru seketika merajai jiwa. Silfia tidak menyangka, bayi mungil yang dulu ia saksikan saat belajar berjalan dan berbicara, kini telah bertambah tinggi jua. Rasanya baru kemarin ketika semua itu terjadi.

"Assalamu'alaikum, Sil."

Silfia mendongak seketika. Dari balik visor helm yang tertutup karena ulah gemas Adeeva, dilihatnya Arya berdiri agak jauh dari hadapan sana.

Sang gadis yang tadinya sedikit membungkuk di hadapan Adeeva, kembali menegakkan badannya sambil menjawab salam. Perasaan aneh menyerang secara perlahan. Apakah ini adalah kali pertama ia mendengar Arya mengucapkan salam untuknya?

'Udah berapa lama sejak terakhir kali aku gak pernah komunikasi sama dia lagi, ya? Arrghhh,' Silfia menggeleng, 'gak usah dipikirin! Nanti malah jadi pusing!'

Nuraga untuk AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang