***
Aku masih bungkam mendengar setiap kata yang dirangkai menjadi kalimat oleh laki-laki di depanku saat ini. Kekesalan yang terukir di wajahku sengaja kutunjukkan padanya agar dia tahu betapa kesalnya diriku saat ini karena keputusan sepihak yang dibuat olehnya. Namun, sepertinya tidak ada gunanya aku menunjukkan raut kesal ini sebab dia saja tidak memberi ekspresi apa pun.
"Sekarang pulanglah."
Bahkan setelah seenaknya menghentikan sepedaku, mencegahku pergi, dan menyeretku ke dalam masalahnya, dia masih bisa memerintahku seorang dirinya adalah penguasa di dunia ini. Benar-benar menyebalkan. Andai saja gadis-gadis yang menyukainya mengetahui sikapnya yang menyebalkan ini, mereka pasti langsung menjauh sekaligus menyesal karena telah menaruh perasaan padanya.
Hanya menang tampang saja.
"Intinya aku tidak mau berurusan dengan gadis yang menyukaimu itu. Itu urusanmu sendiri jadi kau harus menyelesaikannya sendirian, jangan menyeret orang lain apalagi aku!" kesalku bukan main sambil menunjuknya.
"Aku bukanlah orang yang akan mengulangi kalimat yang sudah kuucapkan. Kau sudah mendengar semuanya tadi, itulah keputusannya." Dia membalas ucapanku seraya melihat telunjukku yang mengacung padanya.
"Kubilang tidak, ya tidak! Apa kau tuli?!" bentakku. Aku tidak main-main dengan emosi yang kukeluarkan saat ini. "Aku benar-benar membenci orang sepertimu yang seenaknya menyeret orang lain ke dalam masalahnya sendiri," sambungku.
Dia tidak lagi membalas ucapanku dan hanya melihatku dalam diam tanpa ekspresi.
"Minta bantuan gadis lain, jangan aku." suruhku sambil hendak mengayuh sepeda dan pergi meninggalkannya.
Namun lagi-lagi ditahan olehnya sehingga membuatku melihat tangannya yang memegang lenganku. "Lepaskan!"
"Kau tahu betul kalau gadis yang akhir-akhir ini sering berbicara denganku adalah dirimu."
"Aku tidak peduli, lepaskan tanganku." titahku sambil mencoba melepaskan pegangannya, tapi bukannya lepas, genggaman itu justru semakin erat. "Itoshi, lepaskan! Aku ingin pulang." pintaku seraya tetap berusaha menyingkirkan tangan besarnya.
"Bantu aku, hanya kali ini saja." Dia tidak mempedulikan rontaan sekaligus permohonanku sama sekali dan justru mengulang permohonannya yang masih memaksaku.
Jika terus begini, aku tidak akan bisa pulang sebelum menyetujui keinginannya untuk menjadi pacar bohongannya. "Aku bilang, aku tidak mau. Berhenti memaksaku, poni miring sialan!" Meski begitu, tentu saja aku tetap memberi penolakan atas keinginannya.
"Aku tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi. Hanya kau yang sering berbicara denganku." Lagi-lagi dia mengulang kalimat yang sama mengenai aku yang akhir-akhir ini berbicara dengannya.
Tentu saja aku jadi sering berbicara dengannya karena kesalahan yang sudah kuperbuat. Andai saja tidak membawa kucing yang berteduh di bawah seluncuran kanak-kanak saat itu, aku dan dia pasti akan tetap saling diam seperti di hari-hari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗖𝗔𝗧 𝗔𝗡𝗗 𝗞𝗜𝗦𝗦 || 𝐈𝐭𝐨𝐬𝐡𝐢 𝐑𝐢𝐧
FantasySore itu, aku menemukan kucing yang sedang berlindung di bawah seluncuran anak-anak dari derasnya air hujan yang mengguyur bumi. Aku memutuskan untuk membawanya pulang dan dipelihara. Saking gemasnya dengan kucing hitam tersebut, aku pun memeluk dan...