***
"KUROO SAYANG!"
Pekikan ayahku mungkin menggema ke seisi rumah. Saking bahagianya, ayahku cepat-cepat ingin menggendong Kuroo—Rin ke dalam pelukannya hingga jatuh tersungkur.
Bruk!
"Meooow~"
Aku terpejam kuat kala suara jatuhnya yang nyaring terdengar. Kubuka mataku dan kulihat dirinya dengan wajah gerogi. "Ayah tidak apa-apa?" tanyaku pelan. Aku yakin jika itu sakit karena ayahku sendiri sempat meringis.
Namun, entah bagaimana caranya dia menyembunyikan rasa sakit itu seolah baru saja jatuh tersungkur pada kasur yang empuk. Yang jelas, sekarang ayahku terlihat bahagia dengan Kuroo yang berada di pelukannya. Dia bahkan menggosokkan wajahnya pada tubuh kucing tersebut.
"Meooow~"
"Kau pergi ke mana saja, Sayang?" Bahkan pertanyaan dariku saja tidak dijawab olehnya dan seperti dianggap angin lalu yang tidak penting.
Si Poni Miring itu terlihat biasa saja seolah tidak merasa risih dengan perilaku ayahku yang berlebihan. Tidak heran karena ayahku sendiri sangat menyukai kucing, terlebih ketika mendapati hewan tersebut tidak ada rumah membuatnya begitu sedih.
Aku merasa beruntung karena Rin tidak menunjukkan reaksi terganggu seperti mencakar, menggigit, atau memberontak. Baguslah kalau dia masih memiliki sopan santun terhadap orang tua di saat dirinya sendiri sangat ketus dan dingin terhadap aku yang merupakan teman sekelasnya.
Aku menghela napas panjang, merasa tidak akan ada gunanya jika mengganggu kebahagiaan ayahku sekarang. Dia benar-benar mengabaikan kehadiran putrinya sendiri dan lebih memilih seekor kucing.
"Ayo, Kuroo. Ayah punya banyak makanan untukmu, kau pasti lapar, 'kan?" Ayahku kembali berdiri dan pergi ke luar dari kamarku sambil tetap menggendong makhluk jadi-jadian tersebut.
Sedangkan aku sendiri masih terdiam di kamar sembari menenangkan sisa-sisa kepanikan. Tadi itu hampir saja ketahuan. Ini di luar perkiraan, seharusnya kedua orang tuaku masih berada di sana sekarang. Entah apa yang membuat mereka cepat pulang, tidak ada kabar yang dikirim melalui pesan.
Poni Miring itu sepertinya juga sudah memperkirakan kalau tidak akan sempat bersembunyi di balik gorden atau di bawah kasur, jadi dia memilih untuk bersembunyi dengan wujud sebagai kucing.
Dia memang tidak terpengaruh oleh hal itu, berbeda denganku yang harus menahan rasa malu sekaligus degup jantung yang tak karuan. Bahkan jika kembali teringat, aku merasa kalau wajahku memanas karena merona.
Rin seakan tidak punya beban melakukan hal yang disebut ciuman. Kurasa laki-laki memang seperti itu jika melakukannya tanpa perasaan. Toh hanya saling menempelkan bibir—menurut mereka.
Aku lalu mengusap wajah dengan gusar. Tidak mungkin aku terus berada di kamar sementara orang tuaku baru saja kembali. Aku kemudian mengambil seragam milik Si Poni Miring tersebut dan menyimpannya pada lemari pakaianku dari pada terlegetak di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗖𝗔𝗧 𝗔𝗡𝗗 𝗞𝗜𝗦𝗦 || 𝐈𝐭𝐨𝐬𝐡𝐢 𝐑𝐢𝐧
FantasySore itu, aku menemukan kucing yang sedang berlindung di bawah seluncuran anak-anak dari derasnya air hujan yang mengguyur bumi. Aku memutuskan untuk membawanya pulang dan dipelihara. Saking gemasnya dengan kucing hitam tersebut, aku pun memeluk dan...