[16] Guilt

800 185 19
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

BRUK!

"Argh..."

Secara spontan aku mendorong lelaki di atasku hingga dia jatuh tersungkur di atas lantai saat menyadari ibuku datang. Namun, percuma saja aku melakukan itu karena Ibu telah melihat kami dalam posisi yang memalukan tadi.

Ibu berdeham keras dengan seringaian lebar yang menggoda. "Sepertinya Ibu mengganggu."

Dengar cepat aku melambaikan tangan secara asal guna mengelak. "T-Tidak terjadi apa-apa, Bu! Sungguh!" seruku dengan harapan agar Ibu percaya.

"Tidak terjadi apa-apa atau belum terjadi apa-apa?" Ibu semakin menggodaku.

"Ibu!" Aku kembali menyeru tidak terima. Walau sedang dalam kondisi yang tidak sehat, aku tidak bisa membiarkan diriku dianggap telah melakukan hal yang tidak terjadi.

Ibuku terkikik seraya berjalan masuk dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hangat yang asapnya mengepul di atas permukaan kaca. "Untuk kalian berdua." Dia meletakkannya di atas meja secara hati-hati agar tidak tumpah.

Aku tidak membalas atau merespon karena masih merasa malu. Bisa-bisanya ibuku melihat kami dalam keadaan seperti itu. Bagaimana jika kami benar-benar terhubung dalam ciuman?!

"Kau tidak apa-apa, Nak Rin?" Ibu bertanya pada si poni miring yang masih belum bangkit dari lantai. Tampaknya dia nyaman tersungkur di sana dalam posisi aneh seperti seekor kodok.

"Aku baik-baik saja, Bi." Dia menjawab seraya berdiri. "Terima kasih banyak atas tehnya."

Ibuku tersenyum menanggapinya. "Ibu turun dulu, lanjutkan kegiatan kalian yang tertunda tadi." ucapnya seraya berjalan ke luar dari kamar.

Ceklek!

Dan menutup pintu.

Wajahku memanas seiring kepergian Ibu, meninggalkan diriku dan Rin dalam suasana yang lumayan canggung. Aku merasa seperti sedang berada di tengah bencana kecil yang baru saja terjadi.

Dan yang paling menyebalkan, si poni lempar itu hanya berdiri dengan wajah datarny. Dia bahkan tidak menunjukkan sedikit tanda seperti canggung atau malu karena kejadian memalukan ini.

Aku mendesah, mencoba meredakan rasa frustrasi yang sudah membuncah. "Kenapa kau bisa kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh di atasku?!" marahku padanya.

Dia sedikit mengangkat alisnya. "Kau pikir aku sengaja kehilangan keseimbangan?" balasnya datar.

“Setidaknya perhatikan langkah dan gerakanmu!" Aku tidak mau kalah.

"Menghakimiku sampai mulutmu berbusa pun tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi," jawabnya.

Apa yang dikatakannya itu benar, baik aku ataupun dia tidak akan bisa memutar waktu untuk menghapus peristiwa sebelumnya dari kenyataan. Namun, tetap saja aku merasa kesal dan ingin melampiaskan amarahku padanya. "Ibuku bisa berpikir aneh tentang kita." Terutama hal ini diketahui oleh orang tuaku.

𝗖𝗔𝗧 𝗔𝗡𝗗 𝗞𝗜𝗦𝗦 || 𝐈𝐭𝐨𝐬𝐡𝐢 𝐑𝐢𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang