27. Trust

18.9K 1.5K 60
                                    

"Jam berapa kamu mau jalan?" Suara Dikta terdengar ketika ia menandaskan makan pagi yang justru dimakannya pada jam sebelas siang ini. Sepiring lengkap croque monsieur sesuai permintaannya pada Gayatri kemarin.

Gayatri menegak minumannya sebelum membuka mulut. "Mungkin, jam dua?"

Mendengar itu, dagu Dikta terangguk. Ia memandang Gayatri yang kini berada di depannya hanya dengan rambut disanggul berantakan ke atas, tanpa riasan, dan mengenakan daster satin warna merah muda yang membuat siapapun menelan ludah. Bagian tergilanya, perempuan itu miliknya. Dengan segala tanda kemerahan akibat cumbuan Dikta semalam yang terlihat begitu jelas di kulit putih sang puan, dengan segala bekas gesekan cambang Dikta, semuanya menjadi tanda klaim kepemilikannya.

Dua bulan.

Usia pacaran mereka baru seumur jagung. Tetapi, perasaan menggebu itu seperti merekatkan keduanya. Tak peduli sesibuk apapun mereka, bertemu setiap akhir pekan jadi kewajiban untuk menuntaskan kerinduan.

Di bulan pertama mereka berpacaran, Gayatri selalu bertanya hal yang sama setiap kali membuka mata, "Is it a dream?" Dikta hanya tertawa-tawa lalu berpura-pura keren dengan jawaban-jawabannya. Tetapi, sebenarnya, dalam hati, ia juga masih bertanya-tanya tak percaya. "Apakah ini mimpi? Apakah semua ini nyata? Apa boleh ia merasakan kebahagiaan seperti ini?" Kalau memang ini mimpi, Dikta tak ingin terbangun lagi.

"Lalu pertemuanmu dengan Maria, gimana?"

"Aku ganti jadwal sedikit lebih sore." Gayatri menjawab pasti. "Sekitar jam lima."

Beberapa minggu setelah pacaran, Dikta mengkomunikasikan ke khawatirannya terkait masalah mental Gayatri yang tidak stabil. Ia bahkan mau tak mau mengajak Darma berdiskusi. Dikta yakin, Darma akan mendukungnya mengingat Darma juga memfasilifasi istri dan anak sambungnya ke psikolog. Jadi, Darma akan jadi orang yang paling mengerti bahwa memeriksakan kondisi kesehatan mental bukan sesuatu yang negatif.

Gayatri yang—seperti orang kebanyakan—menganggap pergi ke psikolog hanya untuk orang gila, jelas menolak. Lagipula, menurutnya, ada Dikta cukup membantunya mengatasi apapun.

Setelah bujukan yang cukup menyita emosi, Gayatri akhirnya memberanikan diri untuk mencoba bertemu Maria, psikolog yang sebelumnya menangani Salsa. Satu pertemuan, dua pertemuan, Gayatri sadar bahwa mungkin, ia butuh mencari pertolongan akan dirinya sendiri yang mulai hilang. Dan Dikta tak bisa memberikan bantuan profesional yang tepat.

"Romi beneran bakal pergi? Dia beneran nggak ngelanjutin kuliah spesialisnya lagi?" Dikta bertanya melanjutkan topik yang tadi.

Gayatri tersenyum kecil. "Iya. Mas Romi mutusin buat pergi ke Singapur, mau ngambil S2 sastra, katanya."

Mata Dikta membelalak. Ia tampak kebingungan. "Biar apa ambil sastra?"

"Mungkin, karena... Dhisty suka baca." Gayatri tersenyum getir. Helaan napasnya terdengar berat. Seperti ada beban yang dipikulnya, juga kehilangan. "Yah, gitu, deh! Mungkin, Mas Romi nggak akan balik untuk waktu yang lama. Di Indonesia, semuanya ngingetin dia sama Dhisty. Biar dia sendirian dulu, mungkin lebih baik buat dia."

Dikta mengangguk pelan. Ia menyesap kopi yang berada di hadapannya.

"Kamu... nggak apa-apa, kan?" tanya Gayatri takut-takut.

Dahi Dikta berkerut. Ia tak mengerti pertanyaan Gayatri.

"I mean, aku... ketemu... Mas Romi?"

"Kenapa harus kenapa-napa?"

"Ya, mungkin, kamu cemburu?" Gayatri mengangkat bahu. Ia sudah hilang hitungan berapa banyak mantan pacarnya yang marah-marah cuma karena ia bekerja dengan laki-laki.

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang