Suasana ruang rapat di salah satu gedung Adhyaksa tampak begitu tegang. Dikta duduk di salah satu sisi, sementara, di sisi yang berhadapan dengannya, tampak Aditya yang membolak-balik dokumen yang Dikta berikan.
"Jadi, kamu mau saya menandatangani kontrak untuk proyek yang belum jadi ini?" Aditya mengangkat alis.
Dagu Dikta terangguk tanpa ragu. Lelaki itu mendongak, menatap Aditya tepat di matanya. "Lawan saya membawa Soeprapto sebagai amunisinya. Saya rasa, saya harus punya lawan yang setara. Kalau saya mau bertahan."
Aditya memicingkan mata. Tatapan itu biasanya bisa mengintimidasi siapa saja, tetapi Dikta sama sekali tak goyah. Ia tetap duduk dengan tegak, menatap ke arah Aditya dengan sama tajamnya.
Tangan Aditya membalik dokumen yang dibawa oleh Dikta. Walau berusaha sekeras apapun untuk menyembunyikan keterkejutannya, Dikta masih bisa melihat raut kaget di wajah lawan bicaranya.
"Saya pernah menangani campaign besaran untuk Adhyaksa." Dikta berdeham pelan. "Jadi, saya punya data historis penjualan dan jumlah crowd dari masing-masing outlet yang ada-terutama di properti milik Prama-juga bagaimana pengaruhnya terhadap pemetaan status ekonomi sosialnya."
Aditya diam. Ia menunggu Dikta untuk melanjutkan omongannya.
"Misal proyek kami yang akan dibangun di daerah Depok yang lumayan dekat jaraknya dengan Universitas Indonesia. Produk LuxeModa yang fokus pada barang-barang fesyen berharga seminimalnya setengah juta tidak akan cocok di sana. Tetapi, produk BeauteMe bisa masuk. Atau DigiPro, mengingat mereka butuh barang elektronik untuk menunjang aktivitas belajar," jelas Dikta. " Jadi, saya nggak serta merta meminta semua brand untuk masuk."
Aditya mengurut dagu. Ia memandang laporan feasibility setiap outlet yang akan bergabung pada proyek grup Prama dan prediksinya yang begitu terperinci. Bahkan, karyawannya saja tidak pernah membuat sedetil itu.
"Saya akan tetap diskusikan dengan tim business development kami terlebih dahulu," putus Aditya.
Dikta mengangguk. "Sure. Saya butuh jawabannya segera, karena akan ada rapat bersama dewan direksi minggu depan." Ia berkata dengan senyum namun ada ketegasan dan dorongan di balik kalimatnya.
"Kamu mau membawa usulan ini di rapat dewan direksi?"
"Kalau kita bicara profesionalitas, cuma itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan grup Prama dan Adhyaksa sekaligus." Dikta mengangkat bahu. "Atau grup Prama dan Soeprapto benar-benar akan 'merger' terselubung dan pengembangan bisnis Adhyaksa bisa terhambat."
"Terhambat?" Aditya mendecih. "Kamu seyakin itu?"
"Pardon my confidence level but ... kita semua tahu kalau properti Prama berada di nomor satu paling banyak saat ini. Proyek kami juga punya skala yang besar dan terus berkembang. Apalagi, kita punya kesamaan target pasar." Dikta mengambil napas untuk menjeda ucapannya. "Kalau semuanya diisi oleh Soeprapto, ke mana Adhyaksa mau membuka outletnya? Pengembangan dan ekspansi akan terbatas. Lalu, target pembukaan gerai dari franchisor nggak akan terpenuhi, kan?"
Aditya berdeham pelan. Grup Prama memang saat ini masih jadi nomor satu. Dan benar kata Dikta, dengan ketiadaan grup Prama, maka ekspansi bisnis Adhyaksa akan goyah.
Mata Dikta melirik ke arah arlojinya. Ia tersenyum kecil. "Kalau begitu, saya tunggu segera, Pak Aditya." Ia berdiri sambil mengulurkan tangan.
Bibir Aditya menyungging kurva U ke atas. Ia menjabat balik tangan Dikta. "Saya rasa, saya bisa kasih tanda tangannya besok. Nanti, saya minta kurir perusahaan kami antar ke tempat kamu."
Dikta mengangguk kecil. "Kalau begitu, saya permisi." Ia berucap cepat.
Tubuh Dikta berbalik. Ia berencana membuka pintu hingga...
KAMU SEDANG MEMBACA
Business Unusual
RomanceBUSINESS UNUSUAL is a noun phrase refers to unexpected situations where businesses must adapt beyond conventional methods to navigate challenges. ADHYAKSA SERIES NO. 2 * Uang? Check! Wajah cantik? Check! Segala gelar pendidikan? Check! Yang Gayatri...