46. Mine oh Mine

11K 1.2K 82
                                    

"Carissa?"

Kalimat yang dilontarkan Dikta membuat perempuan bergaun floral itu berbalik. Wajah bulatnya kini tampak tersenyum hingga matanya menyipit. Semua orang akan setuju kalau perempuan di hadapan Dikta ini punya wajah yang manis dan cantik. Sayangnya, Dikta tak berminat sama sekali.

Kepala Dikta berkedu. Tadi sore, dia punya masalah dengan Adji yang masing menggantung. Sekarang, ada perempuan gila ini di ruangannya.

"Mas Dikta, habis dari mana?" tanya Carissa begitu riang. 

Dikta melengos sambil melewati Carissa begitu saja. "Kamu ngapain di sini?" 

 "Aku tadi habis ketemu sama Tante Nelly. Lalu, Tante Nelly bilang, Mas Dikta belum pulang," jawab Carissa santai. "Jadi, aku pikir, mungkin, aku bisa ketemu Mas Dikta sebentar, atau kita bisa makan malam bareng, gitu?"

Dikta memutar bola mata tanpa memandang Carissa sama sekali. "Bukannya saya sudah bilang, saya nggak mau lagi punya hubungan apa-apa sama kamu?"

Tawa kecil terdengar dari bibir Carissa. Ia memajukan bibir bawahnya. "Tapi, aku tetap boleh mampir, kan?" Ia berucap dengan manja sambil mengikuti Dikta yang sudah duduk di kursinya. "Lagipula, kenapa sih, Mas? Alergi banget sama aku?"

Dikta menarik napas saat Carissa mendekat ke arahnya. "Saya ini sudah punya pacar, Carissa."

"Ya, ya, ya, Mbak Atri. Lalu?" Carissa mengangkat bahu.

"Lalu, katamu?" Dikta menggeleng tak habis pikir. "Are you out of your mind?"

"Mas Dikta kan belum menikah dengan Mbak Atri. Sah dong kalau aku masih usaha." Carissa berkata lagi sambil duduk di atas meja Dikta, menduduki dokumen-dokumen yang sudah Dikta pisahkan hingga berantakan.

"Carissa!" Dikta meninggikan nada.

"Apa Mas Dikta?" Nada Carissa mengayun manja.

"Stop it. Turun dari meja saya sekarang!" Dikta berdiri. Tangannya menarik Carissa. Namun, belum sempat Dikta menyeret perempuan itu, pintu ruangannya terbuka.

"Mas? Kamu di sini bukan, sih? Tadi di luar udah kosong jadi—"

Suara perempuan membuat Dikta membeku. Sosok dari suara itu muncul dari balik pintu tersebut. Perempuan berponi rata dengan rambut yang diikat ke atas. Tubuh tinggi dan kurusnya terbalut jas abu dan rok bahan cokelat menguarkan aura dominan yang membuat siapa saja sesak.

"Mas Dikta?" Suara itu kembali menyeruak. Ia memicing, menatap ke arah perempuan di sebelah Dikta. "Oh, that whore." Ia bahkan tak sudi menyebut nama Carissa.

Jantung Dikta berdegup kencang. Ia menggeleng dengan khawatir. "Tri, itu..."

Gayatri tak membuka mulut. Dikta pikir, kekasihnya akan pergi mengamuk dan menangis begitu saja. Tetapi, tidak. Gayatri malah berjalan maju. Suara ketukan stiletto-nya yang beradu dengan lantai tampak terdengar begitu intimidatif.

Tangan Gayatri mendorong Carissa lalu menampar perempuan itu dengan begitu keras hingga tubuh Carissa terpelanting ke arah lain.

"Tri..." Dikta kini dalam posisi kebingungan. Gayatri akan mengamuk dengan gila kalau tidak dihentikan, tetapi, sejujurnya, ia bahkan tak ingin menghentikan Gayatri sama sekali.

"There's a little bitch here," sinis Gayatri.

Carissa bangkit setelah tubuhnya terhantam tembok. Ia memegangi pipinya yang masih berdenyut dan panas. "Bitch? Who the fuck is bitch here?" Ia menantang.

Gayatri mengepalkan tangan. Ia siap menghajar Carissa kalau Dikta tak menahan dengan gelengan.

"Kamu lebih baik keluar, Carissa," ucap Dikta dengan tangan melingkar pada tubuh Gayatri—satu-satunya cara untuk menenangkan perempuan itu. "Saya sudah bilang berkali-kali kalau saya nggak mau punya hubungan apa-apa sama kamu."

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang