31. Talk Less? More Like Efortless

12.3K 1.2K 117
                                    

Gayatri menatap ke arah kalender. Hari ini masih hari Rabu, masih tengah minggu, tetapi, rasanya, ia benar-benar tak sabar akhir pekan. Untuk pertama kalinya, Gayatri menginginkan liburan yang sesungguhnya alih-alih bekerja seperti orang sinting.

Perempuan itu masih berada di tengah rapatnya. Hari ini, diadakan rapat besar evaluasi internal pada campaign  tahunan yang mereka jalankan kemarin. Di hadapan Gayatri, tampak laporan penjualan setiap brand , juga perbandingan antara penjualan normal dengan penjualan dengan campaign yang terjadi kemarin. Dikta dan Ramdan di sebelahnya, menatap satu persatu laporan yang disajikan. Begitupula Aditya dan Satya yang terlihat begitu serius.

Hasil campaign kemarin cukup memuaskan. Setidaknya, setiap aktivitas punya dampak yang bagus dan nyaris merata untuk setiap anak-anak perusahaan yang dipegang. Hasil pekerjaan Dikta bukan hanya bagus dalam konsep dengan idealisme kreatif tetapi juga sangat mementingkan detil kemungkinan keuntungan yang masuk ke dalam perusahaan.

Darma juga memuji hasil kerja itu. Jarang ada agensi pemasaran yang seperti milik Dikta. Kebanyakan, fokusnya cuma sisi kreatif saja. Keuntungan dan kerugian perusahaan serta omset kemudian diabaikan. Target mereka hanya awareness saja. Indah dipandang, buruk rupa di kantong.

"Kita bisa pakai agensinya Mas Dikta lagi kalau begini," ucap Darma saat rapat selesai dan para lead dari setiap brand meninggalkan ruangan. Darma melihat bundel laporan itu lagi. Hasilnya begitu memuaskan. "Bahkan perkiraan keuntungannya pun nggak meleset. Oke, meleset, sedikit. Tapi masih dalam margin error. I love his sense of business."

"We somehow forgot that he is a Pramaditya, afterall," komentar Ramdan sambil terkekeh. "And a Stanford MBA graduate, to be added."

Ada rasa bangga di dada Gayatri. Biarpun ia harus bersikap netral, buatnya mendengar kekasihnya dipuji begitu, terasa begitu menyenangkan.

"Muka lo nggak usah mesem-mesem ya, Mbak Atri," ucap Ramdan menyadari kakaknya senyum-senyum sendirian.

"Apa, sih?" Gayatri mendesis dan buru-buru menampakan wajah kaku yang pura-pura.

"Halah! Lo kelihatan banget kesenengan gara-gara kita muji cowok lo!" Darma ikutan mengejek. "Kita puji kerjaannya, ya. Kalau mau nikahin lo, lihat-lihat dulu!" 

"Itu laki satu nggak ada effort-nya bener, dah! Masa ngebujukin cuma pakai bunga dan makanan?" Ramdan berdecak. "Terus lo luluh gitu cuma disogok cookies, es krim, atau makanan enak? Kayak gajah di Taman Safari lo, Mbak!"

Gayatri memutar bola mata. "Nggak cuma itu, ya!" Ia berucap sebal.

"Terus apa? Seks panas? Explosive orgasm?" celetuk Ramdan asal yang dapat tatapan maut dari Gayatri. "Macem novel-novel erotis yang setiap mau ngeseks diawali dengan kalimat 'Aku akan menghamilimu.' terus dibales dengan 'Yes, Sir!', huh?"

Gayatri nyaris tersedak ludahnya sendiri.

"As if it was romantic but actually cringe ay-ef. Like, who fuck someone while saying he will impregnate that girl? Holy crap!" Ramdan misuh sendiri.

"Lo kebanyakan baca novel erotis, Ram." Darma menyahut.

"Bukan punya gue, punya Ikan, kayaknya. Gue ketemu di Tell Tales, di private collection." Ramdan memiring-miringkan kepala. Mencoba mengingat-ingat. "Iya, di Tell Tales, kok!"

"Adhisty mana punya buku gituan!"

"Yah, mana tahu dia punya terus dipraktekin sama Mas Romi."

Darma memutar bola mata sementara Gayatri merunduk. Ia meringis mecil.

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang