36. Because Of You

10.9K 1.3K 38
                                    

Aroma masakan yang harum tercium tepat ketika Dikta membuka pintu apartemennya. Gayatri tak terlihat, namun ada oven yang masih menyala di sana. Dilihat dari kaca yang membatasi, ada sebuah nampan pyrex dengan isian yang dipanggang. Sejenak ada perasaan hangat menjalar di dada berikut juga sedih yang menyapa.

Dikta menyukai masakan Gayatri. Tetapi, kalau dipikir-pikir, seberapa sering perempuan ini memasak di dapur. Kesibukan pekerjaannya sendiri pasti menyita perhatian. Sejak pertemuan kembali dengan Gayatri nyaris enam bulan lalu, lalu berpacaran dua bulan terakhir ini, sudah tak terhitung berapa malam Gayatri lembur hingga tengah malam. 

Sekarang, mungkin, baru dua bulan. Perempuan itu masih begitu bersemangat. Ia tampak cocok dengan kegiatan domestik di rumah. Namun, dalam beberapa bulan ke depan, ia tak yakin Gayatri tetap bertahan. Bahkan, memakan masakan perempuan itu adalah kemewahan yang suatu hari akan semakin sulit ia dapatkan. He should not take it for granted, for sure.

"Loh? Kamu udah sampe? Habis dari mana?" Suara Gayatri terdengar. Perempuan itu baru keluar dari kamar. wangi sabun menandakan ia baru saja mandi.

"Kamu ninggalin oven sambil mandi, Tri?"

Gayatri mengangkat bahu. "Oven-nya ada timer, kan? Jadi otomatis mati sendiri? Lagian, aku udah set alarm kok!" Ia terkekeh. 

Ting!

"About time!" Perempuan itu berjalan ke arah dapur lalu berjongkok pada oven yang berada di bawah. "Aku bikin sheperd pie."

Dikta tersenyum kecil. Ia meletakan tubuhnya untuk duduk di bar stool lalu memangku dagu di kitchen island. Ia memandangi Gayatri yang mempersiapkan makan malam mereka.

Gayatri in his apartment looks so perfect, but, does it? Apakah dia seharusnya berada di rumah besar dengan banyak asisten rumah tangga? Memerintah seperti nyonya besar dengan gaun cantik dan rambut tertata?

"Kamu bengongin apa, Mas?" tanya Gayatri sambil meletakan casserole pan berbahan kaca itu di atas penahan panas yang sebelumnya sudah disiapkan di atas meja.

"Tadi gimana sama Maria?" tanya Dikta menyinggung pertemuan Gayatri dengan psikolognya.

Karena bukan penanggung jawab, Dikta tak bisa mendapatkan informasi sekecil apapun tentang kondisi Gayatri. Semua laporan hanya akan dikirimkan pada Darma—yang bertindak sebagai penanggung jawab Gayatri, juga sebagai kakaknya. Dan jelas, Darma tidak akan membuka mulut soal kemajuan atau kemunduran adik sepupunya itu.

"Gitu-gitu aja, ngobrol biasa. Ini udah pertemuan ke tiga ... atau ke empat, ya?" Gayatri mengibaskan tangan. "Kamu tahu? Pertama kali aku ke psikolog, aku pikir bakal disetrum."

Dikta tertawa. "Pertama, kamu ke psikolog bukan ke psikiater. Kedua, kamu bukan gila akut yang seperti itu."

Satu perbedaan antara psikolog dan psikiater yang tidak banyak orang tahu adalah psikolog hanya memberikan konseling sementara psikiater berhak meresepkan obat. Psikolog biasanya hanya akan memberikan terapi dan jika kasus pasien sudah parah hingga mengganggu aktivitas sehari-harinya, baru seorang pasien akan dirujuk ke psikiater. 

Sejauh ini, belum ada tanda-tanda Gayatri akan dirujuk ke psikiater. Sehingga, tujuan Gayatri keep up dengan Maria hanyalah agar perempuan itu bisa mengeliminasi pikiran buruk tentang dirinya sendiri dan trauma-trauma yang datang padanya.

Gayatri manggut-manggut. "Kan aku nggak tahu, Mas!" Ia memajukan bibir. Kepalanya miring, sejenak memandangi Dikta. "Mas Dikta sendiri habis dari mana? Pas aku balik, udah nggak ada."

Dikta menggeleng pelan. "Jalan-jalan sebentar," jawabnya berbohong. Ia diam dan berpikir. "Ketemu ... Lukas sama Gio."

"Oh..." Gayatri mengangguk-anggukan kepala. "Kapan-kapan, kenalin aku sama Mas Lukas dan Mas Gio, ya! Aku udah tahu mereka, tapi, aku kan belum pernah ngobrol langsung."

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang