35. My Precious

10.9K 1.4K 92
                                    

Dikta menghela napas keras-keras. Baru saja ia ingin melakukan gencatan senjata dengan ibunya, tiba-tiba, mereka sudah berulah lagi dan perempuan di depannya ini adalah salah satu alasan kepala Dikta pusing setengah mati.

Rasanya, Dikta ingin muntah. Dalam pembicaraannya dengan si ibu tadi, ibunya terus mengejek dan mengata-ngatai Gayatri sebagai alat transaksi Aditya. Tanpa sadar, sebenarnya, mungkin, orangtua Dikta yang melakukan hal tersebut—menjadikan anaknya alat tukar tender.

Dikta tak mengerti apa yang orangtuanya kejar dari keluarga Soeprapto. Mereka pemain baru di bidang waralaba. Dibandingkan Adhyaksa yang sudah melampaui tiga generasi, jelas Adhyaksa jauh lebih stabil bahkan ketika diterpa isu miring seperti itu. 

Perusahaan Adhyaksa sudah go public, jadi, permasalah keluarga bukan sebuah isu besar. Hanya berdampak sedikit pada imej saja. Sementara, Soeprapto masih berbasis perusahaan keluarga, bahkan dengan isu pendirian perusahaan yang ditujukan sebagai tempat cuci uang milik Garcia.

Bekerja sama sebatas sebagai tenant dan landlord masih bisa disebut aman. Tetapi, bekerja sama lebih dari itu akan berbahaya. Dan jika pernikahan ini disebut sebagai agen kerjasama, maka kegiatan ini akan jadi kesepakatan paling membahayakan. Karena salah-salah, Dikta bisa ikut terseret dalam kasus apapun yang Soeprapto dan Garcia kerjakan.

Rasanya, Dikta ingin mengutuk banyak-banyak. Ia yang awam karena tak sering terlibat saja bisa tahu tanpa harus menganalisa lebih lanjut.

Sekarang, Dikta merasa ingin angkat kaki dari sini sekaligus mempertimbangkan ulang apakah ia harus kembali ke grup Prama atau mengemis di kaki Aditya untuk mendapatkan Gayatri? Tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama seperti berjalan di atas pecahan kaca. Dikta hanya perlu memperhitungkan pecahan mana yang lebih banyak dan lebih menyakitkan.

Dikta melirik Carissa. Perempuan itu tengah makan dengan lahap. Ibunya benar-benar meninggalkan Dikta begitu saja. Ia benar-benar pergi tak lama setelah menyantap makanannya. Dikta ingin pergi tetapi malas membuat drama. Ia tahu culasnya perempuan ini. Dikta tak ingin ada pemberitaan di media. Apalagi, jika tiba-tiba, perempuan gila ini menarik Gayatri kembali ke dalam permainan.

Mata Carissa menatap Dikta dengan binar. Ia tampak seperti anak kecil yang ingin tahu banyak hal. Usianya memang begitu muda, seingatnya,  baru dua puluhan awal. Bagaimana mungkin anak seperti ini mau-mau saja dijodohkan?

"Mas Dikta kok bengong, sih?" Carissa tersenyum dengan begitu manis dan manipulatif bersamaan."Mas Dikta nggak mau makan lagi?"

Dikta menggeleng. "Kalau kamu sudah selesai makan, saya mau pulang." Ia menjawab dingin.

Carissa memajukan bibir. "Aku masih mau makan es krim kelapa lagi!"

Bola mata Dikta berputar. Ia tahu, Carissa hanya mengulur waktu. Lelaki itu mendengkus keras-keras. "Saya nggak ada minat melanjutkan apapun sama kamu, Ris." Tanpa berbasa-basi, Dikta berucap dengan nada tajam.

"Apa, sih? Aku nggak ngerti, deh!" Carissa membalas perkataan Dikta dengan berpura-pura dungu.

"Us! Kamu tahu kita sedang 'dijodohkan', kan?" Dikta berucap sebal. Ia benar-benar malas berbasa-basi. Dikta rasa, Carissa sudah tahu apa yang terjadi pada mereka.

"Hm? Aku cuma diajak ke sini sama Tante Nelly, kok," jawab Carissa santai. "Tapi, kalau dijodohkan, boleh aja."

Dikta menghela napas. Ia benci situasi ini—ketika lawan bicaranya membalas dengan berpura-pura bodoh.

"Ya, saya nggak," ketus Dikta.

"Kenapa?"

"Hm?"

"Kenapa nggak mau mencoba?" tanya Carissa lagi.

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang