20. I Just Want You

15.9K 1.7K 90
                                    

"Sayang, minta tolong ambilin charger laptopku dong di sana."

Mata Gayatri mendelik tatkala mendengar kalimat yang dilontarkan Dikta. Akhir pekan ini, untuk ke sekian kalinya, Dikta kembali mengajak mereka bertemu. Tak perlu lagi penjelasan, Gayatri sudah tahu semua yang Dikta lakukan hanya mencari-cari alasan untuk bertemu. Namun demikian, Gayatri mendiamkan aksi 'mencari-cari alasan' ala Dikta karena sejujurnya, ia menikmati sesi 'bekerja bersama' yang mirip seperti anak sekolah kerja kelompok itu.

Bersama Dikta selalu membuatnya nyaman. Walaupun Gayatri tahu, setiap bertemu, pias Dikta serasa ingin menagih jawaban yang tertunda.

Untuk kali ini, Gayatri sengaja mengulur. Ia ingin memantapkan hatinya terlebih dulu, tak ingin jadi bodoh terus menerus. Tetapi Dikta malah semakin hari semakin berani. Sisi lain yang baru kali ini Gayatri lihat dari lelaki satu itu.

"Sayang! Sayang!" protes Gayatri pura-pura. "Asal banget ngomong sayang kayak sayang beneran." Tangan Gayatri mengambil charger di sisi meja lain lalu menyodorkannya pada Dikta. 

"Loh, memang beneran sayang, kok!" Dikta asal nyeletuk sambil memasangkan charger pada laptop. "Aku nggak pernah sesumbar, Tri!"

Wajah Gayatri memerah. Ia memalingkan pandangan ke arah Kartika yang diam-diam mengintip. Adiknya itu buru-buru berpura-pura dungu ketika Gayatri menangkapnya basah.

Gayatri dan Dikta lagi-lagi tengah duduk di common space Tell Tales. Mereka menghabiskan waktu sebelum Tell Tales resmi di tutup bulan depan setelah Darma dan Satya kembali untuk mengurusi distribusi buku yang berada di sana. 

Sesekali, Dikta secara acak masih protes ingin agar Tell Tales tetap dijalankan yang selalu dibalas oleh Gayatri dengan kalimat, "Coba ngomong sama Papaku. Kali-kali aja kamu dikasih ngurusin."

Sialnya, Dikta mampu membalas omongan Gayatri dengan, "Kalau udah jadi mantu sih, bisa, sih. Nikah aja, apa? Kapan bisa ngelamar sekalian ngomongin Tell Tales?"  Dan selanjutnya, Dikta akan dapat satu pukulan ringan di bahu dari Gayatri.

Kalau Gayatri pikir-pikir dengan baik, mereka jadi seperti Wira dan Stefani yang sering nongkrong di sini untuk pacaran. Bicara soal Wira dan Stefani, ke mana pasangan ini sekarang, ya? Setelah meninggalnya Adhisty, Wira jarang terlihat. Kabarnya juga, semakin hari, adik sepupunya ini semakin aneh saja.

He changes. Dia jadi lebih tertutup secara sosial. Apa karena kematian ibu dan kakaknya? Atau karena hal lain? Mungkin, pendewasaan? Mengingat Wira bukan lagi anak SMA. Tak hanya Gayatri, Ramdan juga merasa Wira semakin hari semakin tidak nyambung, padahal sebelumnya, mereka cukup dekat walau jarak umurnya sekitar empat atau lima tahun.

Entahlah!

"Kamu lagi nge-review social media plan buat campaign-nya Adhyaksa, ya?" tanya Gayatri saat melongokan kepala.

"Bukan, ini punya klien lain. Memangnya, kantorku cuma nanganin perusahaan kamu, ya?" sindir Dikta pura-pura sebal.

Gayatri tertawa. "Loh, ya, kan? Bisa jadi." Ia memiringkan kepala sejenak. "Tapi, social media plan-nya udah jadi? Aku mau lihat dong!" Perempuan itu mendekatkan tubuh ke arah Dikta dengan mimik ingin tahu. Raut yang menggemaskan. Bagaimana mungkin Gayatri yang terkenal tegas di kantor punya sisi lain semanis ini?

Dikta melirik kecil. Ia menghela napas. Imannya tak boleh sampai goyah. "Tri, kita udah janji, kan? Bahasan apapun diperbolehkan—"

"—Kecuali kerjaan antara Excelsior dan Adhyaksa, ya, aku tahu." Gayatri memajukan bibir. "Tapi, aku penasaran."

Kepala Dikta menggeleng. Masih sebisa mungkin mempertahankan keyakinannya yang tak boleh sampai goyah. Mereka tidak boleh mencampur adukkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dikta tak ingin bertengkar cuma karena masalah-masalah semacam itu. 

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang