Love Me In Your Memory - Part 1: Katya

14.3K 1K 178
                                    

Karena banyak yang nggak punya Twitter, aku posting di sini , ya. Ini iseng doang. Harusnya ada ini kayak Nolan & Emi kemarin di Darma, tapi aku merasa kentang dan takut gitu, loh. Semoga nggak tinggi-tinggi banget ekspektasi-nya.

Terus ini beda sama yang di Twitter, lebih panjang dan ganti POV (please let me know bagusan POV 1 atau 3 ya?) hehehe

Cerita ini dibagi 2 part. Dari sisi Katya dan Kastara. Siapa mereka? Dibaca aja ya.

*

Aku mengetuk-ngetukan kuku yang baru dimanikur ke atas meja kayu yang berada di hadapanku.Mataku menatap ke arah berkas yang kini berada di depanku seraya berdecak sebal. Bola mataku memutar dengan dongkol.

"Mana bisa perhitungan margin-nya kayak gini? Mana Dito?" amukku sambil mendorong buntalan kertas yang tadi baru selesai kubaca. "Saya nggak mau ya proyek LuxeModa berantakan kayak gini. Kalau strateginya begini, yang ada buntung bukan untung."

Orang-orang di dalam ruanganku hening. Mereka saling menatap satu sama lain. Aku tidak peduli kalau mereka menganggapku mengerikan atau menyeramkan atau gila atau semuanya!

Aku. Tidak. Peduli.

Aku tidak bisa membiarkan LuxeModa, anak perusahaan Adhyaksa yang Mama sudah bangun dengan susah payah merugi karena kebodohan mereka. Tidak akan!

"Balik ke saya dengan ide yang lebih oke, tiga hari cukup, kan? Waktu kita terbatas. Kalau salah lagi, saya mending cari orang baru daripada bayar kalian yang nggak kompeten begini," tegasku dengan nada ketus.

Orang-orang itu mengangguk.

"Ngapain lagi kalian di sini? Sudah sana, ke tempat masing-masing," ucapku hampir membentak sangking marahnya.

Satu per satu orang dalam ruangannya pergi, menyisakan diriku seorang diri yang masih panas karena marah. Matahari sudah terbenam sejak lama dan bulan sudah bertengger entah berapa jam.

Aku menutup wajah dan menggeram marah. Rasanya, aku benar-benar lelah.

Suara ketukan di pintu menyadarkanku dari segala lamunan. Ketika mengangkat wajah, aku bisa melihat Kastara-adik laki-lakiku-berdiri di ambang pintu dan melenggang masuk begitu saja.

"Muka lo kacau banget, Mbak." Tanpa basa-basi, Kastara mengejek. Kebiasaan!

Aku hanya bisa mendengkus sambil memutar bola mata. "Lo harus ngehadapin karyawan-karyawan bego di sini."

"Mbak..." Kastara berucap dengan gelengan kepala. "Jangan begitu."

Aku berdecak. Kalau ada sifat buruk yang diturunkan Papa dan Mama padaku, hal itu adalah sifat perfeksionis mereka yang tinggi. Dan itu tak bisa diganggu gugat. Rasanya, aku benci kalau ada yang melakukan tidak sesuai yang diinginkan.

"Kalau begitu terus, siapa yang mau deketin kamu, Mbak?" Kastara berucap sambil menyilangkan tangan di dada dan menggelengkan kepala. "Inget itu umur udah lewat dari kepala tiga."

Aku memutar kursi agar bisa menghadap Kastara. "Gue nggak butuh cowok, Ra," kataku ketus.

Kastara tertawa. Tertawa begitu keras. "Kenapa sih, Mbak?" Ia ikut duduk dan kini berhadapan denganku. "Lagian bukan masalah butuh cowok, tapi lo butuh manusia lain, siapapun itu. Lo nggak bisa selalu hidup bergantung dengan diri lo dan kesepian melulu."

Kastara dan segala filosofis sosialnya. Dia benar-benar menurun dari Mama kalau soal yang satu itu. Atau Om Ramdan? Sejak kecil, Kastara memang Papa versi ekstrovert, sih. Aku dan Mama pernah membandingkan foto Kastara dan Papa ketika muda, dan-demi Tuhan-mereka benar-benar mirip!

Business UnusualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang