14. Her Pain

66 9 0
                                    

Utara sudah kembali masuk sekolah setelah tiga hari masa skorsing. Sepanjang perjalanan dari gerbang hingga masuk ke dalam kelas, tidak ada satu pun tatapan sinis yang terlewat mengarah padanya.

Semua orang terus berbisik-bisik sampai beberapa dari mereka tidak lagi segan melontarkan ujaran kebencian secara terang-terangan.

"Gapapa, Ra. Ini hal kecil yang nggak seberapa!" Utara menguatkan dirinya sendiri dengan menggenggam erat ujung sweater yang tengah ia gunakan.

Hari ini, Kinan tidak datang dikarenakan sakit. Sementara Selatan, lelaki itu berkata akan melakukan technical meeting di luar sekolah.

Alhasil ... Utara harus sendirian dalam menghadapi semua orang yang berubah jadi membencinya saat ini.

Sebenarnya, Selatan sendiri tidak mengetahui jika masa skorsing Utara sudah berakhir kemarin. Utara sempat berbohong mengenai durasinya menjalani masa skorsing. Lelaki itu tahunya jika Utara akan bisa bersekolah kembali besok.

Tidak dapat dipungkiri jika Utara memang sering menyendiri untuk mendapatkan ketenangan. Tetapi, kali ini rasanya berbeda. Utara membenci perasaan kesepian dan kekosongan yang menderanya sekarang.

Bahkan kehadiran Selatan yang biasa ia anggap mengganggu berubah menjadi perasaan rindu. Benci memang untuk Utara mengakuinya. Tapi ia juga tidak bisa mengelak. Setidaknya, untuk saat ini rasanya gombalan dan tatapan Selatan lebih baik daripada pandangan sinis dari teman sekelasnya.

Baru akan mengeluarkan beberapa buku dari lacinya, sebuah gebrakan ringan dari Granita di mejanya sukses menyuri atensi Utara sepenuhnya.

"Utara-Utara ... kita semua udah tau loh gimana kondisi keluarga lo. Ternyata lo anak seorang pelakor ya? Pantesan lo kekurangan uang sampai nyuri uang gue!" cecar Granita yang hanya dibalas Utara dengan tatapan heran sekaligus kesalnya.

"Kenapa natap-natap gue gitu? Lagian nih ya, kalo lo nggak dibiayain lagi sama bokap lo dan butuh uang, lo bisa bilang dan minta baik-baik ke kita. Bukan dengan cara nyuri kaya kemarin." Granita kembali melayangkan berbagai hinaan kepada Utara dengan diikuti oleh Kiara.

"Selatan kok bisa mau ya sama lo? Padahal maling dan ups–gue kelepasan!" tutur Kiara yang membuat Utara mengepalkan tangannya erat-erat.

"Tampang lo aja yang polos. Taunya pencuri. Sok banget jadi murid berprestasi eh taunya kelakuan lo memalukan gini! Apa lo juga penggoda kaya nyokap lo? Makanya Selatan mau sama lo kali ya? Berapa tarif lo?" Kiara semakin gencar mencerca Utara.

Tapi kali ini, Utara tidak tinggal diam. Gadis itu berdiri dan melayangkan tatapan tajamnya pada Kiara dan Granita. "Kalian nggak perlu mempermalukan diri sendiri dengan bicara omong kosong gini. Karena kalau semuanya udah terbukti, gue takut justru kalian yang jadinya malu sendiri."

Utara melempar senyum manis saat melihat Kiara dan teman-temannya mulai panas sendiri. "Oh ya, gue udah hampir dapetin buktinya." Utara pun mendekatkan wajahnya untuk berbisik pada Kiara. "Mending lo siapin muka lo dari sekarang, Ki. Karena gue nggak akan biarin ini selesai dengan mudah."

Setelahnya, Utara langsung pergi keluar dari kelas. Ekspresi tegas yang sedari tadi ia tampilkan berubah drastis. Wajah gadis itu berubah sayu dengan tatapan mata yang menyendu. Sadar emosinya terus memburuk, Utara memilih berjalan cepat dengan menundukkan wajahnya.

"Ayo ikut gue, Ra."

Utara mendongak di saat seseorang menghalangi langkahnya. Di depannya kini, ada Laut yang sudah memasang senyuman sendu.

Utara lantas menggeleng pelan guna menolak. Gadis itu pun kembali menunduk seolah tidak mau ada orang yang memandanginya dalam posisi lemah seperti ini. "Gu-gue mau ke toilet,"

SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang