4. God Is Dead

3K 172 263
                                    

TRIGGER WARNING! Adegan kekerasan seksual yang tidak cocok untuk sebagian pembaca. Harap bijak!

***

***

"Kau dengar." Mata Jeremy berkilauan oleh kegirangan yang gelap. "Dua puluh tujuh ribu untuk keperawananmu."

"Fuck you!" Niamh mengumpat.

Tawa Jeremy menggema di dalam ruangan.

"Your loss, Niamh," pria itu berkomentar sambil kembali mengalihkan pandangannya ke layar komputer. "Danny mengatakan bahwa kau menyimpan kesucianmu untuk pria yang tepat. Pria yang bersedia membayar 27 ribu dollar untuk itu kurasa adalah pria yang tepat. Terlebih jika uang itu bisa membantu biaya rumah sakit ibumu. Apalah arti keperawanan itu dibanding nyawa ibumu, kan?"

"Baiklah," Niamh akhirnya menjawab. Entah dari mana suaranya berasal. Ia tidak bisa lagi mengenali suaranya sendiri.

Wajah Jeremy yang menatap ke arahnya membuat kulit Niamh bergidik oleh rasa ngeri. Ujung bibir Jeremy yang tertarik ke atas dan membuat wajah pria itu terlihat culas.

"Yakin, Niamh?" Jeremy bertanya dengan suara pelan layaknya seekor ular yang mengintai mangsa. "Aku tidak ingin dicap pemerkosa jika kau tiba-tiba berubah pikiran."

"A-aku yakin," Niamh membalas dengan suara tercekik.

Jeremy bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. Tubuh Jeremy yang jangkung mendesak Niamh hingga membuat wanita itu melangkah mundur ke arah kasur yang ada di belakangnya.

"Baiklah," Jeremy berkata sambil menyambar ember yang masih dipegang Niamh sebelum mendorong wanita itu hingga terbaring ke atas kasur.

Setelah meletakkan ember itu ke lantai, Jeremy merangkak naik dan meraih kaos yang dikenakan Niamh dan menariknya ke atas.

"T-tunggu," Niamh berkata sambil memegangi kaosnya agar tidak terangkat. "Tidak sekarang."

"Dan mengapa tidak?"

"A-aku baru saja membersihkan toilet. Aku pasti bau muntahan dan keringat. B-biarkan aku mandi dulu."

Jeremy terdiam. Wajah pria itu terlihat kesal tapi Niamh bisa melihat kilasan jijik dalam mata Jeremy ketika ia menyebutkan kata 'toilet' dan 'muntahan'.

"Baiklah," pria itu akhirnya menjawab dan melangkah mundur. "Gunakan kamar mandiku. Lakukan dengan cepat."

"O-ok."

Dengan napas terengah-engah, Niamh berlari masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu. Ia membuka pancuran air sebelum menatap bayangan dirinya sendiri di cermin wastafel.

Membiarkan air pancuran menyala, Niamh memikirkan apa yang barusan dilakukannya.

Apakah ia baru saja menjual keperawanannya demi uang?

Ia adalah wanita baik-baik, bisakah ia melakukannya?

Kini ia punya waktu untuk berpikir, Niamh tidak lagi seyakin sebelumnya.

Mungkin ia sebaiknya keluar dan membatalkan semua ini.

Tapi... bagaimana dengan biaya pengobatan ibunya? Dari mana ia bisa mendapatkan 27 ribu dollar dalam waktu dua hari? Ia tidak punya barang yang bisa dijual. Ia tidak punya kenalan yang bisa dipinjaminya uang sebanyak itu selain Jeremy.

Tidak. Ia memerlukan uang itu.

Sambil memalingkan wajahnya dari bayangannya sendiri, Niamh mengeratkan rahangnya dan menarik napas dalam-dalam.

Ia tidak punya pilihan.

Ia takut, itu benar. Tapi ia harus melakukannya.

Niamh melucuti pakaian yang dikenakannya sebelum masuk ke bawah pancuran. Sambil memejamkan mata, ia membiarkan guyuran air hangat itu membasahi permukaan kulitnya.

Semua ini terasa sangat tidak nyata. Bagaimana bisa ia sampai di titik itu dalam kehidupan, Niamh tidak mengerti. Setelah ayahnya meninggal, ibunya adalah satu-satu keluarga yang ia miliki. Meski pas-pasan, tapi Niamh memiliki masa kecil yang bahagia. Ibunya memastikan bahwa ia selalu memiliki apapun yang dibutuhkannya. Ia tidak pernah kelaparan dan selalu merasa dicintai. Ketika ia masih kecil dan terkena penyakit demam berdarah, ibunya menggadaikan perhiasannya hanya agar bisa membawanya ke rumah sakit untuk dirawat.

Niamh tahu bahwa ia akan melakukan apapun demi wanita itu, termasuk melakukan hal ini.

"Hei!"

Suara teriakan dan pintu kamar mandi yang dibuka mengalihkan perhatian Niamh. Wajah Jeremy yang masam membuat Niamh menjerit. Ia sepertinya lupa mengunci pintu kamar mandi.

"Jer! Apa yang kau lakukan?" Niamh bertanya sambil mengatupkan tangannya ke depan dada berusaha menutupi ketelanjangannya.

"What the fuck, Niamh," pria itu menjawab sambil meraih lengan Niamh yang basah. "Lama sekali kau mandi. Aku sudah menunggu tiga puluh menit lamanya!"

"T-tunggu—"

Percuma, Jeremy tidak mau menunggu. Pria itu dengan kasar menyeret Niamh keluar dari kamar mandi dan melemparkan tubuh Niamh yang masih basah ke atas ranjang.

Embusan angin dari jendela kamar yang terbuka mebuat Niamh menggigil kedinginan. Ia mendekap dirinya sendiri dan beringsut ke belakang.

Ranjang berderik ketika tubuh Jeremy naik ke atas kasur.

"J-Jer, t-tunggu—"

Kalimat Niamh terhenti ketika Jeremy meraih paha Niamh dan menarik keduanya ke arah yang berlawanan.

"Tunggu—"

Niamh berusaha menutup kedua kakinya rapat-rapat. Namun Jeremy mencengkeram pergelangan kakinya dan meremas dengan keras.

"Jangan banyak bergerak atau aku akan mematahkan pergelangan kakimu, Niamh," pria itu menggeram dengan suara kasar.

Jeremy menarik celananya sendiri turun dan mengeluarkan kekakuannya yang sudah tegak berdiri.

Niamh merasa ingin menangis sekarang. Tidak. Ia tidak bisa melakukannya!

"Tunggu kubilang!" Niamh menendang dan mendorong bahu Jeremy hingga pria itu melepaskannya.

"M-maafkan aku," Niamh berkata dengan suara terengah-engah. "A-aku berubah pikiran. A-aku tidak bisa melakukannya."

"Yang benar saja, Niamh!" Jeremy membentak dengan tidak sabar. "Kau yang mengemis padaku. Sekarang setelah aku menunggu, kau ingin membatalkan perjanjian? Apakah menurutmu aku ini pecundang yang bisa kau permainkan?"

Niamh bisa melihat wajah Jeremy menggelap. Pria itu benar-benar sudah di ujung kesabarannya.

"Berhenti menghabiskan waktuku," Jeremy melanjutkan sambil menarik lengan Niamh dan membalik tubuh wanita itu hingga tengkurap. "Kau akan menyerahkan keperawananmu kepadaku. Sukarela atau tidak."

Niamh bisa merasakan tangan Jeremy meremas pinggulnya sebelum pria itu menekankan sesuatu yang panas ke permukaan liangnya.

Belum sempat Niamh bisa meronta, Jeremy menjambak rambutnya dan menabrakkan dirinya sendiri ke dalam celah Niamh hingga pangkal.

"Aaarg!" Niamh menjerit kesakitan. Ia bisa merasakan benda itu merobek dan menusuk kewanitaannya. Rasa sakitnya membuat badan Niamh mengigil dan air mata mengalir keluar dari kelopaknya yang terpejam.

Niamh makin menjerit kesakitan ketika Jeremy, tanpa aba-aba, menggerakkan kekakuannya dan menggesek.

"S-sakit," Niamh merintih sambil berusaha menggeliat. "Jer, s-stop. Keluarkan—"

Kalimat Niamh terputus ketika Jeremy mendorong kepala Niamh dan membenamkan wajah wanita itu ke dalam kasur.

"Shut up, bitch!" pria itu membentak. "Teruslah mencoba menguji kesabaranku, Niamh, dan aku akan menghancurkan wajah cantikmu."

Niamh mencoba meraih tangan Jeremy yang melilit di rambut, tapi pria itu mencengkeram dengan sangat erat, ia tidak punya tenaga untuk melawan.

"Diam dan terima saja apa yang kulakukan, Niamh," Jeremy menggeram panas. "Kita baru saja mulai."

***

***

Note: Yang ngarep Zade dapet perawan siapa kemarin? Ups... (ᵕ—ᴗ—)


Shadow [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang