"Dengan member kayak gitu, emang kayak apa sih kerja kalian?" tanya Pak Dipta lagi.
Seruni menghela napas. "Ya ... enggak ada kerjaan. Kan, Pak Dipta sendiri yang bilang kalau kami nggak ada hasil kerjanya?" Seruni menandaskan.
Dia heran, dengan bosnya ini. Di satu sisi Pak Dipta itu terlihat banget pinter dan berwibawanya. Seperti ketika beliau menaklukkan orang-orang mal hanya dengan sekali datang. Tapi kadang bloon juga sih. Kayak sekarang.
"Dan lo paham kenapa selama ini kerjaan kalian enggak banget?"
"Paham lah, Pak. Kalau nggak ada yang mengolah data itu menjadi hasil riset yang bener dan memberi insight, bagian pemasaran kan nggak bisa membuat campign yang cocok buat meningkatkan penjualan."
"Terus kenapa lo diem aja?"
Seruni tertegun. Bagaimana dia bisa menyampaikan hal seperti ini kalau selama ini Pak Steven seperti menganggapnya tidak bisa apa-apa? Jangankan mau mendengar, belum apa-apa Pak Steven sudah menyuruhnya diam sambil bernarasi panjang lebar.
"Yang kamu bilang itu memang nggak salah. Tapi itu hanya sebuah teori yang diajarkan setiap kampus. Namanya kuliah, udah pasti diajarin sesuatu dalam kondisi masih ideal. Sedangkan pada praktiknya kan enggak."
Seruni waktu itu sudah hampir membantah. Sebagai pegawai baru yang idealis, dia tidak terima ucapan bosnya yang seperti itu.
Tapi Pak Steven buru-buru melanjutkan monolognya. "Emang sih, idealnya, bagian pemasaran itu punya banyak staf berkualitas tinggi. Karena menjadi ujung tombak penjualan. Tapi kenyataannya kan perusahaan nggak mau begitu? Kita cuma dikasih staf sedikit. Itu juga nggak bagus-bagus banget."
Cara Pak Steven mengatakan nggak bagus-bagus banget benar-benar bikin Seruni keki. Yaelah, Pak. Lo juga masuk dalam klasifikasi nggak bagus-bagus banget ini juga kali!
"Jadi buat apa pusing? Kamu juga, jangan naif. Keadaannya memang begini. Terima saja. Malah enak kan? Santai. Tapi kalau nggak cocok, gampang, tinggal resign. Nggak ada yang larang."
Kini Seruni juga bingung menjelaskan pada Pak Dipta tentang apa yang dia alami dulu.
"Run, gue nunggu ini elo ngomong—"
"Tapi saya takut salah, Pak," Ini serius. Rasa malu gara-gara dikatain teoritis dan naif dulu membekas banget. Seruni sadar mentalnya lemah. Karena itu dia lebih memilih menghindar atas sesuatu yang berpotensi membuatnya terseret konflik atau bakal kena mental.
"Gimana gue tau lo salah apa enggak, kalau lo nggak ngomong. Lagian kalau lo punya dasar pikiran yang masuk akal tentang ide lo, kenapa takut salah? Dan gue terbuka dengan ide baru, Run."
Akhirnya Seruni menjelaskan. Meski terbata-bata di awal, semakin ke sini semakin lancar. Karena Pak Dipta tidak mengejeknya.
"Dari yang saya pelajari, riset itu penting, Pak. Dan harus ada yang menganalisis data pemasaran. Sehingga tim pemasaran bisa merencanakan strategi yang lebih tepat berdasar hasil analisis itu." Saat mengatakan hal ini, Seruni merasa banget kayak mahasiswa baru yang sedang baca textbook.
"Terus masalahnya di mana sama ide lo? Kan bener apa yang lo bilang."
Seruni nyengir. Dia tidak berani mengadukan pendapat Pak Steven secara langsung di depan Pak Dipta. Ntar kalau Pak Dipta setuju dengan apa yang dibilang {ak Steven, dia juga yang kena kan?
"Ya, mungkin karena kondisi perusahaan ini begini, Pak. Bagian pemasaran stafnya sedikit banget, makanya nggak bisa bekerja dengan lebih efektif. Uhm ... maaf kalau saya mengutip kata Pak Steven, bahwa kita harus realistis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Flower
RomanceDipta adalah seorang pengecut yang gagal. Rumah tangganya berantakan, anak perempuannya hampir mengakhiri hidupnya sendiri, dan perempuan yang menjadi pasangannya memutuskannya setelah mereka kumpul kebo bertahun-tahun. Seolah belum cukup, karena ke...