"Pak Dipta masih berstatus tamu?" tanya Seruni saat Dipta mengajaknya ke tempat parkir yang ada di sebelah gedung. Bukan di basemen tempat para karyawan mendapat hak parkir pribadi.
"Emang selama ini lo udah ngurusin gue?" balas Dipta cuek.
"Kok saya?" Seruni bertanya bego.
"Kan lo asisten gue, Runi! Lupa?"
"Enggak sih, Pak. Tapi masa urusan kayak gitu saya yang—"
"Coba lo telepon ntar HRD di Dhanubrata Pusat, tanyain soal gue, terus lo follow up ke HRD sini. Tanya aja, kan temen lo anak HRD."
"Yessy?" Yessy itu entah si bibir kissable atau si bahenol. "Iya deh, Pak. Ntar saya tanya sama Yessy. Soalnya saya nggak tahu kalau nge-treat bos baru termasuk ngurusin kayak gini."
"Makanya belajar, dong." Lagian SOP di perusahaan ini nggak jelas banget. Dan Dipta yakin kalau si Dharma, manajer SDM itu juga nggak nyambung-nyambung amat sama kerjaannya. Persis kayak staf Ivan yang lain. Ini perusahaan bener-bener mati suri. Sampai-sampai sejak kedatangannya di gedung ini minggu lalu, Dipta masih memarkirkan kendaraannya di bagian tamu. Dia belum mendapat tembusan untuk urusan fasilitas yang akan dia terima menyertai jabatannya. Terlalu fokus pada pekerjaannya membuatnya melupakan hal itu. Lagipula itu bukan tugasnya. Satu lagi tanda kalau banyak hal tidak berjalan semestinya di sini. Salah satunya HRD.
Begitu tiba di tempay mobilnya berada, Dipta membuka door lock system Honda CRV warna biru miliknya. "Masuk, Run," katanya sambil menuju ke bagian kemudi. Melihat gadis itu ragu-ragu, Dipta menambahkan. "Gue bukan sopir lo. Jadi, gerakin tangan lo, pegang hendelnya, lalu buka sendiri pintunya. Dan sebagai catatan, itu pintu nggak bakal kebuka kalau lo kasih perintah cuma dalam hati. Karena lo bukan orang sakti."
Setelah membuka pintu bagiannya sendiri dan duduk di belakang kemudi, dia menunggu asistennya masuk.
"Sudah, Run?" tanyanya begitu melihat gadis itu sudah duduk manis di tempatnya.
"Sudah, Pak," sahut Seruni sambil tersenyum ke arahnya. "Oh ya, selain bisa buka pintu sendiri, saya juga bisa pasang seatbelt sendiri."
Sialan! Cewek ini sedang mengejeknya. "Lo kelihatan seneng banget, ya," cibir Dipta sambil menjalankan mobilnya meninggalkan basemen.
"Iyalah, Pak. Jarang-jarang ada yang ngajak saya keluar gini."
"Eh?" Dipta mengerutkan keningnya.
"Rasanya kayak orang penting," lanjut Seruni.
Dari kaca spion, Dipta melihat betapa cerah wajah gadis itu. Hm .... Persis seperti Rhena waktu kecil dulu, yang selalu menyambutnya pulang dengan wajah berbinar gembira. Cepat sekali rasanya waktu berlalu tahu-tahu anaknya sudah menjelma menjadi seorang gadis. Dan sekarang Dipta mau tak mau mengakui apa kata orang-orang di sekelilingnya. Bahwa masa kanak-kanak itu cuma sebentar dan tidak bisa digantikan oleh apa pun.
Terbukti kan, sekarang? Dia kehilangan masa-masa itu karena terlalu fokus pada kepahitan hidup karena pernikahannya yang gagal. Terlalu sibuk membenci Tari sampai-sampai dia mengorbankan Rhena yang seharusnya dia lindungi. Alih-alih menjalani semua dan menikmati apa yang menjadi miliknya, Dipta malah lebih memilih untuk denial dan mencari pelarian. Dia menjadikan Rhena sebagai beban yang mengekang kebebasannya. Menjadikan Tari sebagai biang kerok kehidupannya yang berantakan.
Padahal kalau dia mau jujur, baik dirinya maupun Tari sama-sama bajingan yang berkontribusi pada kekacauan hidup anak mereka. Rhena tidak minta dilahirkan. Dia dan Tari yang sudah memilih untuk mempertahankan anak yang prosesnya dimulai dari hubungan semalam saat mereka berdua sama-sama dalam kondisi mabuk. Mereka sadar saat memutuskan hal itu. Mereka juga sadar akan konsekuensi dari pilihan itu. Kalau pun pada perjalanannya semua berantakan, mereka berdualah yang bertanggung jawab. Dia dan Tari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Flower
RomantiekDipta adalah seorang pengecut yang gagal. Rumah tangganya berantakan, anak perempuannya hampir mengakhiri hidupnya sendiri, dan perempuan yang menjadi pasangannya memutuskannya setelah mereka kumpul kebo bertahun-tahun. Seolah belum cukup, karena ke...