Part 26 - Things We Can't Make Up

4.7K 1K 101
                                    

Dipta sudah tidak ingat lagi kapan hidupnya terasa normal.

Dulu dia menyalahkan pernikahannya yang tidak bahagia sebagai biang kerok semua permasalahan dalam hidupnya. Makanya begitu menemukan alasan kuat untuk berpisah, dia mengakhiri semuanya. Namun ternyata dugaannya salah. Perceraian tidak membuatnya hidup dengan lebih mudah. Karena dia dan Tari masih terikat dengan Rhena.

Sudah belasan tahun mereka bercerai. Namun hal itu tidak menjadi jaminan kalau Tari berhenti merecokinya. Biasanya wanita itu akan sangat mengganggunya kalau kehidupannya sedang tidak baik-baik saja. Misalkan baru putus dari cowok peliharaannya, atau baru bercerai dengan suami terbarunya. Seperti kali ini. Ketika papanya Dio telah menemukan kewarasannya bahwa mempertahankan istri pertama jauh lebih menguntungkan daripada mempertahankan Tari.

Dipta bukannya tidak mengantisipasi hidupnya akan kembali terganggu. Namun sekarang dia benar-benar sudah capek menghadapi temperamen Tari. Hanya saja, seperti biasa, Dipta selalu tidak bisa mengabaikan begitu saja. Karena bagaimana pun Tari adalah ibu dari Rhena. Sebagaimana yang selalu diungkit oleh mantan istrinya saat pertengkaran mereka tidak menemukan penyelesaian.

"Gue ibu kandungnya. Jadi gue punya hak bertemu anak gue!" Tari histeris saat mereka bertengkar melalui panggilan suara.

"Lo emang ibu kandungnya, Tari." Dengan kewarasannya yang tersisa, Dipta berusaha memberi penjelasan pada Tari. "Tapi lo juga yang bikin Rhena tertekan dengan sikap lo yang angin-anginan. Paham nggak sih lo, kalau Rhena bukan barang? Yang lo sebut saat lo galau, tapi nggak lama lo balikin ke gue kalau lo udah bosen?"

"Siapa bilang?" bentak Tari. Dipta bahkan seperti bisa membayangkan bagaimana wanita itu meradang. "Lo sok tahu! Padahal lo sama nggak beresnya. Sehari-hari Rhena juga lo tinggal melulu dan hanya ditemenin pembantu dan sederet guru les, Dip!"

"Paling enggak, di sini Rhena tahu bahwa ini rumahnya, gue papanya, yang nggak bakal ninggalin dia apa pun yang terjadi. Rhena butuh kepastian itu, Tari!"

"Siapa sih yang bikin lo sekarang sok-sokan jadi ahli parenting?" tantang Tari. "Gue nggak percaya sama lo, Dip. Bajingan kayak elo—"

"Gue yang udah menghabiskan waktu puluhan jam untuk mendampingi Rhena konsultasi, Tari. Gue yang dengerin semua keluh kesah dia!"

"Lo tahu kan, Dip? Psikolog, psikiater, atau apalah namanya mereka itu, hanya sekumpulan orang yang bermodal bacot doang buat rampok duit lo buat bayar jasa mereka yang super mahal itu. Bisa-bisanya lo percaya—"

"Tetapi penyakit mental itu ada, Tari. Bukan bohongan. Jadi harus disembuhkan," Dipta menghela napas panjang. Penyakit mental yang menghinggapi mereka bertiga. Yang kalau ingin mendapatkan hasil maksimal atas pengobatan Rhena, maka mereka berdua harus juga berkonsultasi.

"Anak gue baik-baik aja!" teriak Tari lagi. "Masa kritisnya sudah lewat. Lo jangan lebay dan terlalu protektif sama dia."

Benarkah? Dipta berpikir cepat. Apakah sekarang dia hanya sedang bersikap lebay pada Rhena?

"Gue tahu lo nyesel karena dulu lo nggak perhatian sama dia. Makanya sekarang lo berusaha menebus itu kan, Dip? Makanya lo jadi keterlaluan protektifnya. Tapi lo keterlaluan. Ini nggak boleh, itu nggak boleh. Bisa-bisa Rhena bukannya sembuh malah semakin tertekan."

Tari sialan. "Bukan lo yang setiap hari dampingi Rhena. Ngapain gue kebawa omongan lo yang ngawur, Tar?"

"Tapi lo tuh! Hih! Kesel gue sama lo, Dip. Gue yakin Rhena juga kesel tapi dia diem aja karena takut sama lo. Padahal lo udah batesin pergaulannya. Lo larang Rhena sekolah—"

Broken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang