Gelap.

90 11 5
                                    

"Akito, bukankah ini menjadi semakin gelap?"

"Kau benar." Akito sekalian mengangguk, mengiyakan.

"Kenapa tiba-tiba jadi wahana horor begini?" An menelan ludahnya.

"Jangan tanya aku lah, kau yang melihat deskripsi wahananya bagaimana?"

"Yang kubaca sekilas tadi, ya hanya yang sudah kuberitahukan padamu!"

"Begitu? Selamat! Kau pintar sekali, Shiraishi An. Silahkan nikmati wahana kereta air yang kau bilang wahana pasangan itu."

"Apasih? Kau menyalahkanku sekarang?!"

An menyilangkan tangannya, memeluk dirinya sendiri, dia merinding... miniatur miniatur kecil yang tampak seperti tengkorak itu menambah kesan ngeri pada terowongan rawa ini, parahnya lagi, suara-suara angin yang terbentur itu, dia sudah tidak tahan, daritadi dia memejamkan matanya, sambil gemetaran. Akito yang melihat itu terkekeh.

"Lucu sekali, yang seperti ini saja kau sudah ketakutan setengah mati, bisa-bisanya kau mengiyakan ajakan mereka naik kereta misteri."

"Sudah berapa kali kubilang?! kalau berempat tentu berbeda! ada Kohane! aku bisa memeluknya disaat-saat menakutkan seperti ini!"

"Hah..kohane, kohane, kohane, bisakah kau tidak menyebut-nyebutnya terus?"

"Kenapa?! kau baru menyesal menyusulku kesini? pasti menyebalkan ya jadi tidak bisa bersama Kohane? lagian aku tidak mengerti dari semua orang kenapa harus kau yang menyusulku-?!"

Kali ini pandangan mereka benar-benar gelap, saking gelapnya, ketika melihat satu sama lain, yang kelihatan hanya siluet-mereka.

"Wah, apakah kau jadi semakin bodoh saat ketakutan? aku sampai tidak mengerti apa yang kau bicarakan." Itu benar, Akito cukup terkejut melihat An seperti ini. Dia ingat An memang sangat penakut dengan hal-hal yang menyeramkan, tapi siapa sangka sampai sebegitunya.

"Ah..menyebalkan sekali." gumam An.

Dia menutupi telinganya, mengabaikan suara-suara itu. Rasanya An ingin menangis sekarang, kenapa terowongannya panjang dan keretanya jalan lambat sekali? Dia tidak mau lama-lama terjebak bersama orang menyebalkan ini.

"Hey." Akhirnya Akito angkat suara lagi, mau tidak mau An menurunkan tangannya, mendengarkan.

"Tadinya, memang Kohane yang ingin menyusulmu, aku menghentikannya, karena bisa saja dia malah tersasar dan jadi tidak ikut wahananya juga. Kau lihat sendiri kan dia ingin sekali main itu? Toya juga, makanya aku yang menyusulmu."

"Haha, begitu ya? baguslah, kau benar-benar memikirkannya." An menutup telinganya kembali.

Walaupun wajahnya tidak begitu terlihat, Akito menoleh ke arah An. "Apa-apaan kalimat ambigu itu? Jangan bilang, kau pikir aku menyukai Kohane?"

"Memangnya apalagi?"

"Oh ayolah, dari mana munculnya pemikiran liar itu?"

Dan begitulah, An segera menoleh ke arah Akito dan membuka matanya lebar-lebar. Ironisnya, ketika dia menoleh ke arah Akito, muncul sesosok seram di belakangnya. Sepertinya itu adalah puncak/klimaks wahana ini, jumpscare yg bahkan membuat Akito bergidik, walaupun tidak melihatnya.
.
.
.
Dia paham betul, kenapa gadis disampingnya ini gemetaran dan merunduk sambil memegangi kepalanya sekarang. Akito masih ingat pada kunjugan mereka di pameran rumah hantu kelas Kohane itu...festival sekolah miyamasuzaka sebelumnya, An sangat berisik karena ketakutan, makanya sekarang dia heran, kenapa gadis ini bahkan tidak berteriak ketika tadi?

"Hey, kau tidak menangis kan?"

"diam."

Akito menurut, gadis itu sepertinya sedang kacau sekali, jadi dia tidak mau mengganggunya, apalagi ketika ia merasakan tubuhnya yang gemetaran disampingnya ini. Kalau bisa Akito ingin menggenggam tangannya yang gemetaran itu, atau setidaknya melakukan sesuatu agar suasana di terowongan ini tidak semakin buruk. Namun, hal itu tidak jadi ia lakukan, karena secercah cahaya terlihat dari depan sana.

"Hoi An, bangunlah kita akan keluar dari terowongan."

"Tidak mau."

"Ck. Yang benar saja? kau tidak percaya padaku?"

"..."

"Yasudah, terserah."

Akito menyipitkan matanya melihat ke depan, bukan karena cahayanya terlalu silau, itu malah aneh mengingat ini sudah petang, tapi karena sepertinya ketinggian tempat mereka sekarang berbeda dengan yang ada di luar terowongan. Akito bingung awalnya, hingga ia teringat saat perjalanan menuju ke wahana ini ia sempat terkena percikan air dari kereta yang terjun.

"Oh, jangan-jangan?"

Ketika Akito menyadarinya ia langsung menoleh ke An.

"HEI AN, BANGUN! KAU TIDAK BOLEH MERUNDUK TERUS SEPERTI ITU!"

"BERISIK."

"Apa?! Ck. Kau keras kepala sekali."

Benar, An tetap kekeh dengan posisinya. Oh, Astaga, rasanya Akito ingin memukulnya? Bagaimana tidak, ketika turunan seperti ini memang tidak diperbolehkan untuk merunduk. Kalian bayangkan saja naik rollercoaster tapi merunduk, itu bahaya.

Sudah dekat dengan turunan, melihat hal itu, mau tidak mau akhirnya Akito meletakkan kedua tangannya pada bahu An dan membangunkannya paksa. An yang bangun tiba-tiba itu, terkejut.

Brrash! Ketika itu juga akhirnya kereta mereka terjun.

-

Kereta mereka akhirnya berhenti. Akito keluar duluan karena dia berada di sisi kiri. Setelah ia angkat kaki dari kereta dia heran karena tidak merasa ada pergerakan dibelakangnya. Maka dari itu, ia menoleh.

"Apa yang kau lakukan? cepat turun."

Rasanya ekspresi An sekarang seperti jengkel tapi juga canggung?

"Kaki-ku masih lemas, ba-bantu aku turun!"

'Hah? yang benar saja... '

"Jaket-ku basah karena tadi, jadi jangan komplen kalau kau terkena basah nanti."

"Iya, iya! ayo cepat! ada yang ingin main juga."

Akhirnya Akito membantu memapahnya keluar, hingga sekiranya An kuat untuk berdiri.

"Sudah! dari sini aku jalan sendiri."

"Oh? yasudah."

Setelah itu, Akito berjalan duluan. Dia sepertinya ingin buru-buru melepas dan mengeringkan jaketnya.

.
.
.

*Haii, Makasih buat yang nungguin ini! Author terhura, dan maaf bangett itungannya Author mengghosting satu bulan😭🙏

*Enjoy^^

You're wrong. [Akian]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang