SELAMAT MEMBACA
***
Aruna duduk di depan televisi bersama Utari. Sejak tadi Utari perhatikan wajah menantunya itu di tekuk. Dan beberapa kali Aruna terlihat menghela nafasnya dengan kesal. Tangannya sibuk memukul bantal di pangkuannya.
Utari tidak tau apa yang menyebabkan Aruna yang bisanya banyak bicara itu menjadi tiba-tiba berubah menjadi pendiam dan berwajah murung seperti itu.
"Runa kenapa?" tanya Utari pada Aruna. Tidak tahan rasanya jika terus diam tanpa tau sebab menantunya demikian.
"Jengkel sama Bang Juna Bun," jawab Aruna. Dia menatap Utari dengan wajah memelasnya.
"Kenapa lagi Arjuna?" tanya Utari.
"Masa Runa ajakin ke Alun-alun tidak mau Bun. Padahal Runa mau kesana, pergi sendiri tidak boleh tapi dia nya tidak mau di ajak pergi." Adu Aruna pada Utari. Dia benar-benar kesal pada anak ayah Abi yang satu itu. Akhirnya dia mengadukan kelakuakn suaminya itu pada bundanya. Biar saja jika nanti Arjuna di jewer oleh sang bunda, maka Aruna tidak akan membantunya.
"Memangnya Runa mau apa ke sana?"
Aruna hanya menggeleng, dia juga sebenarnya tidak terlalu tau dia mau apa kesana. Hanya tiba-tiba saja dia ingin kesana. Rasanya sudah lama sekali tidak kesana.
"Pokoknya ingin kesana Bun," ucap Aruna lagi.
"Coba panggil Juna," ucap Utari memerintahkan Aruna untuk memanggil Arjuna. Aruna langsung pergi kekamarnya, dimana Arjuna tadi pamit ingin tidur siang.
"Di panggil Bunda Bang," ucap Aruna saat memasuki kamar. Arjuna yang baru bangun langsung mengusap wajahnya dengan malas.
"Pasti Runa ngadu-ngadukan?" Tebak Arjuna dengan kesalnya pada istrinya itu.
Sudah pasti ini ulah Aruna yang entah mengadu apa sampai bundanya memanggilnya.
"Ya tidak tau," jawab Aruna santai.
Dengan malas, Arjuna berjalan menuju ruang tengah di mana kemungkinan bundanya berada.
"Katanya Runa, Bunda panggil Abang." Ucap Arjuna saat duduk di hadapan sang bunda.
"Ajak Runa ke alun-alun Bang, orang cuma di ajak ke alun-alun saja kok susah kamu itu."
Arjuna langsung menggeleng tidak mau. Sudah dia tebak, jika bundanya ingin membela menantu kesayangannya.
"Kalau kamu tidak mau, biar Aruna pergi sama Armaya jangan di larang."
Namun, lagi-lagi Arjuna menggeleng tetap tidak setuju dengan ucapan sang bunda.
"Itu tidak mau kan Bun," Aruna muncul dan ikut duduk di sebelah Utari.
Arjuna hanya mendengus kesal, sebenarnya yang anak itu dia atau istrinya kenapa bundanya itu justru membela Aruna ketimbang dirinya.
"Kenapa sih Bang, sebentar saja."
"Runa ini pecicilan Bun, mana mau dia sebentar disana. Belum lagi nanti disana jalan jauh, lari-larian. Terus dia kalau makan sembarangan, semua dia makan tidak fikir-fikir dulu. Bahaya Bun, mantu Bunda ini suka tidak ingat kondisi. Abang bukannya tidak mau kesana, tapi kalau sekarang bahaya buat dia Bun. Apalagi kalau biarkan dia pergi sendiri, makin bahaya. Dia suka hinggap di sembarang tempat." Arjuna menjelaskan alasan sebenarnya dia menolak ajakan istrinya ke alun-alun. Bukan karena apa, dia hanya ingin menjaga istrinya. Dan lagi untuk sekarang, daripada keluyuran ke alun-alun lebih baik istirahat di rumah.
Aruna hanya cemberut mendengar ucapan Arjuna. Tanpa mengatakan apapun dia langsung keluar dari rumah, entah mau kemana. Apalagi mendengar kata hinggap, kenapa kesannya dia seperi lalat. Lagi, lalat itu kan hewan yang kotor. Dia tidak terima di samakan lalat, setidaknya kalau mau menyamakan dia dengan kupu-kupu bukan lalat.