44

70 18 0
                                    

BnHA © Kohei Horikoshi

44
Melanggar Aturan

Menurut laporan Blood King, wali kelas kelas B, ambulans dan mobil pemadam tiba 15 menit setelah para villain pergi. Dari 40 siswa, 11 tidak sadarkan diri dan dalam kondisi kritis karena menghirup gas, 11 lainnya mengalami luka ringan, 13 tidak terluka, dan 1 tidak ditemukan. Dari 6 pahlawan pro, 1 mengalami cidera kepala dan dalam kondisi kritis, sedangkan 1 meninggalkan jejak darah yang sangat banyak dan masih tidak ditemukan. Di lain pihak, 3 villain langsung ditahan sedangkan yang lain menghilang tanpa jejak.

Sehari setelahnya, aku terbangun ketika matahari terbenam di rumah sakit terdekat dengan lokasi perkemahan. Di luar dugaan, hanya tangan kiriku yang dililit perban secara penuh. Di bagian tubuh lain, aku hanya mendapat beberapa plaster luka.

Orang tuaku masuk beberapa menit setelah aku membuka mata. Ibu benar-benar histeris, agak berlebihan sebenarnya tapi jujur aku senang melihat kepedulian mereka. Ayah lebih tenang dari Ibu, menahannya agar tidak melemparkan diri ke ranjang pasienku.

"(Y/n)... (Y/n)... Semuanya baik-baik saja? Apa masih ada yang sakit? Duh... Anak cantik Kaa-san terluka separah ini... Oh! Apa perlu Ibu panggilkan dokter? Kamu belum makan, kan? Laper? Mau buah? Atau makanan berat?"

Serbuan pertanyaan itu membuatku tersenyum lelah. Ayah menghela napas, memberikan senyum minta maaf sebelum menepuk bahu Ibu untuk menyadarkannya dari kekhawatiran berlebih.

"Panggil dokter dan potongkan buah untuk anak kita, bukankah Fragile-san mengirim parsel buah?" pinta Ayah.

Fragile mengirimkan buah? Aku ingin tertawa jika tubuhku tidak selemas ini. Tidak pernah kusangka dia akan menunjukkan kebaikan dan kemurahan hatinya padaku. Padahal kupikir dia penganut "Tsundere harga mati".

"Benar juga... Sayang, awasi anak kita! Kalau sakit langsung panggil!"

Ibu menekan tombol panggilan sebelum berbalik untuk mencari pisau, ia duduk di sofa panjang yang dipenuhi mantel dan tas pakaian tampak sibuk mengupas apel. Ayah menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangku, mengulas senyum menenangkan.

"Ryoji-san mengucapkan kekhawatiran dan doa lekas sembuh untukmu."

Aku mengangguk. "Terima kasih, aku ingin mengunjunginya setelah aku sembuh."

"Ya, dia tampak kesepian hanya ditemani polisi," kekeh Ayah. "Karenanya kamu harus sembuh secepat mungkin."

Perkataan Ayah membuatku otomatis mengusap lengan kiri yang tertutup perban. Permukaan kulit yang tidak rata membuatku terdiam, menelan ludah. Segala pikiran buruk hanya membuatku semakin kehilangan kata-kata.

Bagaimana jika luka ini sulit sembuh?

Bagaimana jika berpengaruh pada kinerja tangan kiriku?

Sepertinya kekhawatiranku terasa oleh Ayah dan Ibu. Usapan lembut di lututku membuatku tersadar, mendongak dan hadapkan dengan senyuman lembut Ayah. Lalu dari sofa di seberangku, ada Ibu yang mendongak dari pisaunya dan memberikan senyum penuh kekhawatiran.

"Dokter akan tiba, tanyakan semuanya ke Dokter dan jangan dipendam. Mengerti, Kagehira (Y/n)?" tanya Ayah dengan tegas.

"Mengerti, Tou-san."

Dokter tiba tidak lama kemudian, beserta suster yang membawakan obat-obatan. Keduanya memberikan senyum profesional yang jujur saja tidak membuat perasaanku semakin baik. Mereka menyapa kedua orang tuaku sebelum menyapaku dengan riang.

"Selamat malam, Kagehira-san. Makan malammu sedang disiapkan, apa kamu bisa menahan lapar sebentar lagi?"

Aku tertawa ramah, "Sepertinya, bisa."

ShadowWhere stories live. Discover now