12. Sandwich Generation

7 3 0
                                    

Tanpa terasa sudah enam tahun ia menjalani peran menjadi tulang punggung keluarga. Tepatnya saat Ayahnya dinyatakan lumpuh akibat kecelakaan lalu lintas yang menimpanya saat Silfi berusia 16 tahun. Sialnya, sampai sekarang pelaku belum ditemukan. Dan yang menanggung semua biaya perawatan di Rumah Sakit adalah dirinya.

Memang bukan dirinya yang melunasi biaya Rumah Sakit, melainkan hasil pinjam dari saudara dan tetangga. 

Masih Silfii ingat setelah Ayahnya dirawat di Rumah Sakit, ia dan ibunya melakukan pekerjaan apapun yang penting halal untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dari berjualan di sekolah hingga ia ditegur guru, bekerja di sawah entah itu menanam padi atau memanen tembakau ia lakukan semua. Panas-panasan tak peduli kulitnya terbakar ia tetap bekerja. Yang ia pikirkan hanya satu, adik-adiknya bisa makan. Sedangkan ibunya bekerja sebagai buruh cuci.

Beruntung ia bertemu dengan seorang wanita yang merupakan majikan ibunya. Yah, ibunya naik pangkat menjadi asisten rumah tangga salah satu warga yang baru pindahan ke desanya.

Tina, nama majikan sang ibu sekaligus orang yang menyebabkan Silfi menginjakkan kakinya ke Jakarta. Berawal dari Silfi yang sering mengujungi ibunya saat bekerja, ia jadi mengenal Bu Tina dan tak sungkan bercerita banyak hal.

Silfi yang dari dulu cerewet dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan pada Bu Tina. "Bu, Jakarta itu gimana sih?"

"Jakarta kota sibuk" Jawab Bu Tina dengan seulas senyum ramah sore itu. "Katanya disana kita bisa ubah nasib, benar?"

"Tergantung. Tapi kalo pengalaman saya sih, iya." Katanya membuat Silfi yang bermimpi menjalani kehidupan di ibu kota semakin tergiur. "Kenapa? Kamu mau ke sana?"

"Iya bu! Aku mau ubah nasib keluargaku." Balas Silfi cepat. Dengan pandangan nanar ia menatap ibunya yang sedang sibuk membereskan rumah Bu Tina.

"Aku mau meringankan beban ibu. Kasian kalo cuma ibu yang cari uang. Apalagi adik-adik aku masih kecil, bu."  Lanjut Silfi membuat Bu Tina memikirkan ulang ide yang sempat muncul di otaknya.

"Sekarang umurmu berapa?"

"Tujuh belas tahun, Bu." Bu Tina terlihat tak percaya, dilihat dari bentukannya Silfi seperti anak SMP saking kurusnya. "Kamu masih sekolah dong?"

"Nggak Bu, aku udah berhenti bulan lalu. Aku mau kerja aja tapi disini jarang ada pekerjaan."

"Kamu udah punya KTP?" Tentu saja Silfi mengangguk cepat. "Gini... Ibu punya teman dia lagi butuh orang buat jaga cucunya umurnya lima tahun. Kamu bisa gak?"

"Saya mau bu! Saya udah biasa jaga adik-adik saya, saya pasti bisa, Bu." Mempunyai lima adik membuat Silfi terbiasa merawatnya sedari kecil jadi ia yakin dengan kemampuannya.

Satu bulan setelah Silfi menyanggupi, Bu Tina mengabulkan permintaannya.
Awal-awal kerja ia dianggap tak akan mampu melakukan pekerjaannya. Lagi-lagi berkat Bu Tina yang mengantarnya ke Jakarta berhasil meyakinkan temannya itu dan selama dua tahun ia bekerja untuk teman majikan ibunya itu. Ia berhenti pun bukan karena dipecat melainkan anak yang dirawatnya diambil oleh orang tuanya yang tidak sesibuk dulu.

Silfi tak lama menjadi pengangguran karena untuk kesekian kalinya Bu Tina menyelamatkan hidupnya. Wanita itu menyarankan dirinya mengelola rumahnya yang tak dihuni untuk dijadikan kos-kosan.

Sambil terus mencari pekerjaan, Silfi mengabulkan saran Bu Tina. Sendiri ia membersihkan rumah itu yang kotor sana sini karena lumayan lama tak ditinggali. Sendiri pula ia memperbaiki kerusakan rumah. Bu Tina menyarankan menggunakan jasa tukang namun Silfi yang tak enak memilih mengerjakannya saja sendiri. Toh, ia juga terbiasa membantu Bapaknya yang dulunya tukang bangunan.

We NonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang