21. Kriteria Menantu Idaman

9 1 0
                                    

Cuaca terik belakangan ini dimanfaatkan Silfi untuk mencuci seprai dan selimut anak kos. Mencuci barang pribadi anak kos bukanlah tanggungjawabnya, namun melihat anak kos yang cenderung malas mencuci seprai dan selimut yang lebar nan berat tentunya tak dibiarkan Silfi begitu saja.

Dari pada mereka menggunakan jasa laundry di luar sana, lebih baik Silfi saja yang melakukannya. Toh, ia mencuci menggunakan mesin.

Alhasil usai shalat subuh, Silfi sibuk di ruang laundry kosan. "Satu.. Dua... Tiga.. Empat... Lima.. En— eh? Mana satu nih?"

"Ah Bel!"

Dengan langkah cepat Silfi berlari ke dalam dan... "Sialan, Beeel!"

Bel yang berdiri di depan pintu belakang sebisa mungkin menahan tawanya agar masker wajah yang digunakannya tak retak. Ekspresi kaget Silfi sangat konyol dimatanya.

"Lo ngapain sih maskeran subuh subuh gini?!" Decak Silfi menaiki tangga ke lantai dua diikuti Bel yang menjelaskan. "Hah? Lo ngomong apaan sih? Gak jelas!"

Bel yang tak ikhlas maskernya rusak gara-gara harus menjelaskan pada Silfi pun memperlihatkan ponselnya yang sudah terdapat sederet kalimat.

Ibu dan Kakaknya Januar udah pulang. Gue diundang makan malam di rumahnya nanti.

"Jadi benar Bu Novi bakal pulang?" Tanya Silfi setelah membaca sampai tuntas. Kemarin saat di warung Mpok Minah, ia sempat mendengar kabar itu.

Bel mengangguk. "Aseek ketemu camer dong, lo." Cewek yang mengenakan terusan berwarna putih itu berusaha fokus mengetik tanpa membalas Silfi yang menyenggol tubuhnya, menggodanya.

Makanya gue pakai maker. Biar gue shining, shimering splendid, gitu loh. Pasti ibunya Jnauar terpana dalam sekali lihat. Gue yakin beliau langsung restui gue, lihat aja.

Menahan diri untuk tak nyinyir akan kepedean seorang Belinda Naya Widyamada yang selalu saja begitu, Silfi mengangguk hendak masuk kamar Bel Sella namun urung saat si penghuni kamar menghentikannya.

"Apa?"

Bel mengangkat tangan, gestur menyuruh Silfi untuk menunggu. Selesai mengetik, cewek itu memberikan ponselnya ke Silfi.

Kira-kira hadiah apa ya yang cocok gue kasi ke Ibunya Januar?

"Mana gue tahu!" Silfi mengembalikan ponsel Bel yang ternyata malah menahan tangannya menyuruhnya diam.

Kan lo kerja di mall, masa gak tahu?

"Hubungannya apa coba?" Tanya Silfi tak paham korelasi kerja di mall dengan hadiah yang diberikan pada calon mertua. "Saran gue nih ya, lebih baik gak usah kasi apa-apa."

"Gak bisa gitu lah!" Seru Bel kelepasan dan berdampak pada masker diwajahnya retak. "Ih elo sih, Sil! Udah gak bantu, retakin masker gue lagi."

"Dih!"

"Lo ngapain ikutin gue?!" Ketus Bel pada Silfi yang ikut masuk kamarnya. Suara ngorok Sella tak membuat keduanya terganggu untuk adu mulut. "Heloooo! Gue kesini ambil seprai lo ya! Gak mau dicuciin nih? Yaudah"

"Eeeh!" Bel dengan sigap menarik tangan Silfi. "Sana ambil dah."

Walau berdecak, Silfi tetap saja memanjat dan mulai membuka seprai yang membungkus ranjang Bel.

"Sil"

"Paan?!" Giliran Silfi yang ketus. "Serius lo gak tahu? Gue bingung sumpah mau beliin apa."

Dari atas Silfi melihat Bel tengah membersihkan wajahnya dengan sponge pembersih masker yang dicelupkan terlebih dahulu ke dalam air. "Ini pertama kali gue ketemu beliau. Gue gak mau first impression Tante Novi ke gue tuh jelek."

We NonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang