1. Penghuni Baru

49 1 0
                                    

Suara pecahan kaca memenuhi rumah. Bantingan benda lain juga ikut meramaikan. Diikuti dengan umpatan yang dilontarkan dengan tajam dan keras.

"HARUS BERAPA KALI AKU BERSABAR! HARUS BERAPA KALI?! AKU GAK MASALAH DENGAN KAMU YANG PENGANGGURAN TAPI TOLONG AKU DENGAN BERHENTI MAIN JUDI!"

"LIHAT! SEJAK KAMU BISA MENGHASILKAN UANG, KAMU JADI SOMBONG BEGINI YA! MERASA HEBAT HAH BISA NGEHIDUPIN SUAMI?! SAMPAI KAMU HARUS MENDEKTE SETIAP KEGIATAN YANG AKU LAKUKAN?!"

Seruan dan bentakan semakin memanaskan keadaan. Otot-otot leher keduanya terlihat menonjol namun hal itu tak menghentikan perdebatan yang semakin sengit.

Tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama keras kepala.

Melihat knop pintu bergerak, gadis itu sontak memundurkan tubuh kecilnya yang bersembunyi di balik meja belajar. Melihat bukan sosok salah satu yang tengah adu mulut, ia segera berdiri memeluk pemuda yang memasuki kamarnya.

Pelukan itu berlangsung sekejap karena yang dilakukan pemuda itu selanjutnya ialah membawa gadis itu keluar melalui pintu depan sehingga tak melewati dapur tempat terjadinya pertikaian.

"Zea, sekarang kondisi rumah lagi kacau, mending kamu pergi dulu ya... Kemana aja asalkan jangan ke rumah dulu. Nanti abang telpon kalau kondisi udah membaik, oke?"

Setelah mengatakan itu semua dan meletakkan hp kepada si pemilik serta sejumlah uang ke tangan gadis itu, pemuda itu pergi. Dan di sinilah ia berakhir, berdiri di depan pintu apartement salah satu temannya dengan menampilkan senyum tak enaknya.

"Itu teman kamu gak ada tempat tinggal apa gimana, sih? Udah dua hari dia di sini."

"Mbak gak mau tahu, sebelum suami Mbak pulang teman kamu harus udah pergi."

Zea yang mendengar itu seketika urung untuk keluar kamar. Beberapa menit kemudian temannya datang dengan wajah terkejut.

"Loh udah bangun?"

Gadis bertubuh kurus itu mengangguk, mengikat rambutnya dengan segera. "Maaf ya Na, gara-gara aku kamu kena omel Mbak mu. "

"Eh, lo deng- " Sebelum temannya menyelesaikan ucapannya, Zea terlebih dahulu mengangguk. "Iya, makasi ya udah kasi aku numpang. Sekali lagi aku minta maaf udah ngerepotin."

Setelah berpamitan dengan teman dan kakak temannya yang berubah manis, Zea segera angkat kaki. Sekarang ia bingung harus kemana. Pandangan orang-orang yang memperhatikan penampilannya yang cukup berantakan dengan pakaian yang tak diganti selama dua hari membuatnya semakin tak nyaman.

Ke apartement abangnya, ia takut.

Hubungan mereka tak sedekat itu.

Mendengar bunyi perutnya yang keroncongan, Zea memilih makan terlebih dahulu di sebuah warteg. Setelah Zea selesai dilayani, seorang perempuan datang sembari menyapa si pemilik warung dengan riang, seperti sudah mengenal lama.

"Anak-anak yang lain emang pada kemana?"

"Pulanglah, sekarang kan masih libur kuliah."

"Owh, kirain semua penghuni kos di tempatmu pada keluar semua."

"Nggak lah Bu, itu pun yang keluar kemarin karena gak ada keperluan lagi disini. "

"Berarti ada kamar yang kosong di kos mu?"

"Iya, bantu promosiin ya, Mpok."

Si pemilik warung mengiyakan dengan tangan mengangsurkan sebuah tas plastik yang sudah diisi makanan.

Dari tempatnya duduk, Zea bisa mendengar percakapan dua orang itu. Kepalanya bahkan mengikuti kemana arah perginya wanita berkacamata itu.

"Jadi berapa bu?" Tanya Zea pada wanita bertubuh berisi tersebut. "Dua puluh lima ribu, Mbak."

We NonaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang