Teror itu datang lagi

362 59 15
                                    

Aku akan selalu jadi sayap pelindungmu, sayang


----

Sudah hampir satu minggu ini, Nabila kembali mendapat pesan-pesan anonim yang memintanya untuk menjauhi Rony. Selama satu minggu ini pula ia merahasiakan hal tersebut dari Rony. Ia tidak mau menggangu konsentrasi Rony yang sedang menyiapkan acara dies natalis kampus mereka. Namun hari ini pesan itu begitu menakutkan dan mengancam. Oleh karena itu Paul kakaknya meminta Nabila untuk mengabari Rony. Karena menurutnya Rony bisa membantu mereka untuk mencari tau siapa dalang dibalik teror yang terus-terusan adiknya terima itu.

Mau tak mau Nabila menuruti keinginan Kakaknya. Ia mengambil ponselnya dan mulai mengirimkan pesan kepada Rony untuk datang ke rumahnya. Rony yang memang sedang riweh dengan urusan BEM-nya tidak sadar kalau Nabila menghubunginya. Namun beberapa menit kemudian akhirnya Rony membalas pesan Nabila dan mengatakan akan segera kesana setelah urusan di kampus selesai.

Tepat pukul 5 sore Rony baru sampai di rumah Nabila. Ia turun dari motor dan mulai berjalan ke arah rumah Nabila dengan perasaan yang campu aduk. Jujur saja Rony benar-benar khawatir saat ini, ia hanya berusaha untuk tenang. Rumah Nabila tampak sunyi, karena memang hanya ada Nabila dan Paul saja di rumah tersebut. Orang tua mereka sedang berada di luar kota.

Sebelum tangannya sempat mengetuk, pintu terbuka dengan suara kayu yang bergeser dan  menampilkan sosok Paul sahabat sekaligus kakak dari kekasihnya itu. Paul yang biasanya  biasanya tampak tenang, tapi kali ini ia kelihatan begitu khawatir. Hal ini membuat Rony semakin bertanya-tanya, apa yang terjadi sebenarnya.

"Masuk, Ron," ujar Paul dengan nada serak, tanda bahwa obrolan ini jauh dari percakapan biasa. Rony mengangguk pelan dan mulai mengikuti langkah kaki Paul. Paul duduk di sofa besar berwarna cokelat, mengisyaratkan Rony untuk mengambil tempat di sebelahnya.

"Ada apa Ul?" tanya Rony, mencoba memecah keheningan yang tegang. Paul menghela napas panjang, menundukkan kepala sebelum akhirnya menatap lurus ke arah Rony. 

"Udah seminggu ini teror yang waktu itu balik lagi Ron, kali ini lebih parah." 

Rony mengepalkan tangannya, menahan emosi yang berputar di dalam dadanya.

"Kenapa lo gak bilang ke gue? Nabila juga gak ada ngomong apa-apa ke gue, gue dianggep pacarnya bukan sih?" suaranya bergetar, antara marah dan kecewa.

"Dianggeplah, dia gak mau cerita ke lo soalnya dia gak mau fokus lo ke ganggu. Nabila gak mau ngerepotin lo Ron, lo tau sendiri dia sifatnya gimana, gue yang abangnya aja baru tahu kemaren. itu juga gara-gara gue mergokin dia nangis di kamar, baru dia mau cerita. Ini juga kalau bukan gue yang minta ke dia buat kabarin lo, gue yakin dia gak bakal ngasih tau lo. Jadi jangan ngerasa lo gak dianggep lagi. Adik gue emang tipe orang yang gak mau ngerepotin orang apalagi lo,"jawab Paul, mencoba meredam rasa bersalah di wajah Rony. Rony menundukkan kepala, memikirkan bagaimana kondisi gadisnya itu saat ini. Pasti ia merasa ketakutan, ia merasa tak berguna sebagai pacar.

"Nabila dimana Ul? Dia di kamar ya? gue boleh kesana?"

Paul mengangguk pelan, kemudian berdiri. 

"Bolehlah. Tapi, Ron, gue mau kasih tau satu hal. Nabila emang keliatannya tegar dan kuat. tapi dia rapuh di dalam dan dia gak bakal nunjukin itu ke lo, jadi tolong jangan paksa dia cerita ya kalau dia gak mau."

Rony mengangguk sebagai jawaban. Ia mengikuti Paul ke lantai atas, menuju kamar Nabila. Pintu kamar itu setengah terbuka, memperlihatkan Nabila yang sedang duduk di ranjang, tubuhnya meringkuk, memeluk bantal dengan erat. Wajahnya pucat, dan lingkaran gelap di bawah matanya cukup menunjukan kalau gadisnya itu kurang tidur.

"Sayang..." panggil Rony pelan, suaranya sarat dengan perasaan.

Mata Nabila terangkat, dan seketika, kilau di matanya menunjukkan kelegaan bercampur ketakutan. Ia berdiri, dan sebelum Rony bisa mengucapkan sepatah kata, ia mendekat dan menyambut pelukan Rony dengan tangan gemetar. Di dalam pelukan itu, seolah-olah semua ketakutan dan kecemasan yang mengelilinginya sejenak mereda.

"Maaf... maaf aku baru datang sekarang," bisik Rony, dengan suara rendah. 

"Aku nggak tau kalau teror itu kembali mengganggumu, semua itu karena kamu pacar aku kan? maaf sayang...." Nabila melepaskan pelukan itu, menatap Rony dengan mata berkaca-kaca. 

"Ini bukan salah kamu, sayang. Tapi ini... ini ulah seseorang yang gak waras. Sekali lagi ini bukan salahmu dan bukan gara-gara aku pacar kamu."

Rony mengusap air mata yang mengalir di pipi Nabila dengan lembut.

"Aku janji yang, aku akan cari tahu siapa yang udah neror kamu kayak gini. Kamu nggak sendirian sayang, ada aku. ada kakak kamu juga."

Nabila tersenyum tipis, lalu ia kembali duduk di ranjang. Rony ikut duduk di sebelahnya, tangan mereka masih saling menggenggam. Mereka mulai berbincang, Rony bertanya detail tentang pesan-pesan itu, dari kata-kata yang digunakan hingga waktu pengirimannya. Nabila menceritakan semuanya dengan hati-hati, sesekali suaranya gemetar ketika ingatan-ingatan menakutkan itu kembali.

"Pesan terakhir yang dia kirim itu, tadi pagi sayang," Nabila menarik napas panjang, menahan air mata yang ingin jatuh. 

"Dia bilang, kalau aku nggak jauhin kamu, dia bakal celakain orang0orang terdekat aku."

Rony menggeleng pelan, matanya menunjukkan amarah yang tertahan.

"Aku nggak akan biarkan itu terjadi sayang. Kita harus cari tau dia siapa. Nanti aku minta tolong temanku ya, aku ada kenalan yang bisa ngelacak nomor kok."

Belum sempat Nabila merespons, suara notifikasi dari handphone membuat keduanya tersentak. Mata mereka langsung tertuju pada layar yang menyala, memperlihatkan pesan baru:

"Lo pikir dengan adanya Rony di rumah lo, lo bakal aman Nabila? Lo salah Nab hahaha! tunggu tanggal mainnya, lo pasti nyesel karena gak ngelakuin apa yang gue minta."

Rony merenggut Handphone yang awalnya ada digenggaman Nabila itu, matanya memerah karena marah. 

"Kok dia bisa tau aku di sini yang? Berarti dia ngawasin rumah kamu dong. Ini bahaya Nab, kita harus segera ngelacak dia, aku gak tenang. aku gak mau kamu kenapa-napa.."

Nabila meraih tangan Rony, mencoba menenangkan Rony, padahal di sini ia yang harus ditenangkan.

 "Sayang, aku takut..."

Rony menatap gadisnya itu, lalu mengangguk tegas dan menarik Nabila ke dalam pelukannya, mecoba memberi ketenagan kepada gadisnya itu.

"Kamu gak perlu takut, aku di sini sayang, kita lacak pesan ini malam ini juga ya? Biar semuanya segera jelas, aku hubungi temanku dulu," ujar Rony dengan suara yang tenang padahal ia sendiri panik.Paul yang sedari tadi berdiri di ambang pintu, mendengar percakapan mereka dengan cermat. 

"Gue bantu Ron, gue juga ada kenalan hacker. Kita lacak sama-sama."

Rony mengangguk, ia merasa senang mendapat dukungan pula dari Paul. 

"Kita harus tetap tenang. Kita gak tau orang yang kita hadepin ini gimana, jadi ada baiknya, kita harus tetap hati-hati dan waspada."

Sementara malam mulai turun perlahan, tekad Rony semakin menguat. Ia tak akan membiarkan siapa pun melukai Nabila, dan kali ini, ia bersumpah akan melawan balik, sekalipun nyawanya yang harus ia korbankan. Di luar sana, angin malam berdesir, seakan membawa pesan baru: mereka tidak akan menyerah sampai teka-teki ini terungkap.

------

Jadi siapa yang neror Nabila guys? 

See you next chapterr :)

Presma Itu PacarkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang