Chapter 16

419 41 4
                                    




Sunghoon menatap gantungan itu.

Kini ia berbaring di officetelnya. Sudah beberapa menit Sunghoon berusaha mengingat sepatu luncur kecil dalam pegangannya ini. "Ahh..." Gumam Sunghoon saat ingat ia pernah membeli gantungan ini di hari terakhir mengajar private ice skating untuk diberikan ke 24 muridnya sekitar 4 tahun yang lalu.

Sunghoon tidak begitu banyak mengingat semua anak yang ia ajar. Tapi Sunghoon yakin gantungan ini pasti hanya anak-anak yang pernah ia ajar yang memilikinya karena Sunghoon memesan custom hanya 24 pieces.

Sunghoon berbangun dan membuka album foto lama dan menemukan foto bersama ia dan ke 24 murid private ice skating. Sunghoon mengamati satu-satu dan menyadari, anak laki-laki dengan perawakan paling kecil dan kulit paling putih di antara yang lain tersenyum begitu cerah di posisi ujung kanan, Kim Sunoo.

Sebesit ingatan melintas di otaknya. Kim Sunoo. Anak kecil yang menciumnya saat Sunghoon memberi susu pisang. Serta laki-laki yang bersama Sunoo tadi, jika tidak salah ingat itu adalah wali Sunoo, kakak ipar yang mengambil tanggung jawab membersamai Sunoo.

Tidak sopan memang, tapi Sunghoon menguping ketika Sunoo dan Niki keluar ruang bimbingan untuk bicara tadi sore. Hanya sedikit yang Sunghoon dengar menjadikan Sunghoon tidak mempunyai clue apa permasalahan mereka.

***

Jam pulang sekolah tiba, Sunoo langsung menuju ruang bimbingan tanpa berlama-lama, ia mencari ke seluruh sudut ruangan namun tak mendapati benda yang dicari.

"Punyamu?" Sunghoon masuk dan berdiri di belakang Sunoo, Sunoo berbalik melihat benda di tangan Sunghoon. Sunoo berusaha mengambil tapi Sunghoon mengangkat gantungan itu tinggi-tinggi. "Kembalikan." Pinta Sunoo sambil menatap tajam Sunghoon.

"Seberapa berarti benda ini untukmu?" Sunoo tidak menjawab, lebih memilih mendudukan dirinya ke kursi. "Berarti atau tidak, kau harus mengembalikan apa yang bukan milikmu, ssaem." Sunghoon duduk ke depan Sunoo dan meletakkan sepatu luncur kecil ke atas meja.

"Kau tumbuh dengan baik, Sunoo-ssi." Seketika Sunoo menatap Sunghoon. Tatapannya antara kaget, bingung, dan senang menjadi satu. "Apa kau tetap melanjutkan ice skating setelah aku pergi?" Sunoo masih tidak menjawab.

Sunghoon menatap Sunoo lekat-lekat, jauh di dalam mata cokelat indah itu, terdapat kesedihan yang Sunghoon tidak tahu apa. Mata Sunoo berbinar, namun disaat bersamaan juga menyimpan kegelapan. Kemudian Sunghoon menyesal, atas apa yang ia lakukan sejauh ini, atas semua tuduhan dan prasangka buruknya pada Sunoo, serta semua tindakan bodoh karena menomor satukan ego dan perasaan.

Sunoo tersenyum. "Kau mengingatku, ssaem." Senyuman Sunoo semakin lebar membuat matanya membentuk garis. Tanpa sadar Sunghoon juga tersenyum.

Bagaimana mungkin Sunghoon sekejam itu melukai senyum indah Sunoo. Lagi-lagi Sunghoon merutuki dirinya.

Sementara Sunoo masih menatap kagum Sunghoon, tatapan yang tidak pernah berubah sejak pertama kali Sunoo bertemu dengan Sunghoon. Rasa kagum itu masih ada, bahkan setelah semua yang Sunghoon lakukan, Sunoo sama sekali tidak membenci Sunghoon karena di matanya, Sunghoon tetaplah matahari.

"Terimakasih, ssaem." Ucap Sunoo akhirnya. "Terimakasih, telah mengingatku." Hati Sunoo terasa hidup kembali, meski jauh di dalam, jiwanya telah lama mati.

"Sunoo-ssi..." Panggil Sunghoon, mereka masih bertatapan. "Aku minta maaf atas semua yang sudah ku lakukan." Sunghoon berdiri dan membungkuk dalam. Sunoo panik, ikut berdiri dan menyuruh Sunghoon duduk kembali.

"Ssaem, semua yang terjadi tidak perlu disesali." Sunoo tersenyum lagi. "Aku tahu semua hanya salah paham. Aku juga salah karena tidak mencoba menjelaskan apapun tentang Jungwon." Sunoo menarik napas dan menyandarkan punggung ke kursi. "Aku hanya mencoba baik kepada semua orang..." Sunoo menggantungkan kalimatnya dan menatap Sunghoon. "Aku ingat ssaem bilang, lebih baik jadi orang berguna daripada orang terkenal." Mereka berdua terkekeh, geli.

"Mungkin aku tidak berbakat di ice skating, ssaem. Tapi untuk matematika, percaya padaku." Sunghoon tidak pernah tahu bahwa Sunoo setalkactive ini, mungkin karena Sunghoon sebelumnya jaga jarak dan tidak peduli. Namun satu yang sekarang ia yakini, Sunoo adalah orang yang menyenangkan.

"Jika kau juara satu, apa yang ingin kau lakukan?" Sunoo menerawang, mengingat olimpiade sebelumnya dimana ia meraih posisi pertama dan tidak melakukan apa-apa, ayahnya tidak memberi selamat, Sunoo hanya menghabiskan waktu bersama Niki malamnya. "Hmmm..."

"Mau coba main ice skating lagi?" Sunoo langsung menggeleng. "Tidak ada yang ku inginkan, ssaem." Ia senyum. Rasanya aneh dapat tawaran dari orang selain Niki, Sunoo jadi merasa sungkan. "Jika ada yang ingin kau lakukan, bisa bilang padaku." Sunghoon mengeluarkan alat tulis. "Tapi tolong, jika aku memberimu sesuatu, tidak usah menciumku." Kepala Sunoo memiring, kemudian pipinya memerah teringat kejadian susu pisang.

"Haha... maaf."

Sesi bimbingan sore itu diiringi dengan mood yang bagus dari kedua belah pihak. Sunghoon merasa lebih bersemangat begitupun dengan Sunoo. Hubungan mereka membaik. Jauh dari itu semua, Sunoo sangat senang, ia bahagia, ternyata Park ssaem yang dulu ia kenal tetaplah sama, seseorang yang memberi tanpa meminta imbalan. Seseorang yang sangat ia kagumi.

"Haha... jadi kau berhenti setelah dua minggu tidak menemuiku di sana lagi?" Selesai bimbingan mereka berjalan beriringan menuju lantai bawah. "Benar. Ssaem pergi tanpa pamit." Sunghoon merasa bersalah, ia pikir anak-anak akan cepat lupa, Sunghoon kira anak kecil akan lebih mudah merelakan sesuatu yang pergi tanpa kata selamat tinggal.

Sunghoon menghentikan langkah dan memposisikan diri di belakang Sunoo. Sunghoon memasangkan gantungan kunci yang telah ia perbaiki. Gantungan kunci itu Sunoo jaga dengan baik bahkan setelah empat tahun tidak rusak meski Sunoo memakainya kemana-mana. Kebetulan lepas setelah bertemu Sunghoon, seolah gantungan itu juga ingin ikut dikenang oleh orang yang memesannya.

"Terima kasih, ssaem." Mereka kembali berjalan.

Di gerbang, Niki telah menunggu di dalam mobil, tatapan tajamnya langsung tertuju pada Sunoo dan Sunghoon. Hatinya terasa panas melihat dua orang itu berjalan bersama meski tidak ada interaksi.

Sunoo masuk dan duduk di kursi sebelah Niki. "Bisa kau jelaskan?" Tingkat cemburu Niki memang di atas rata-rata, Sunoo sadar itu sedari lama, seharusnya ia jalan sendiri daripada Sunghoon terlibat dalam konfliknya dengan Niki. "Kami membahas persiapan untuk olimpiade, hyung." Sunoo berusaha tersenyum karena Sunoo tahu, Niki lemah melihat senyumnya.

Niki menarik dasi Sunoo menghadapnya. Sunoo menggenggam tangan Niki. "Hyung, aku mau jalan ke taman." Sunoo mencium pipi Niki, seperti dugaan Sunoo, Niki luluh. "Baiklah." Niki mencium bibir Sunoo dan mulai menjalankan mobil.

Sunoo menatap spion ketika melewati Sunghoon yang berjalan kaki.

Matanya terasa panas saat tangan Niki mengusap-usap pahanya namun sebisa mungkin Sunoo berusaha biasa saja.

"Hyung, malam ini hyung tidak sibuk?" Sunoo menggenggam tangan Niki, berusaha menghentikan usapan yang semakin masuk ke paha bagian dalam. "Tidak, ada apa?" Sunoo menggeleng, itu artinya hari ini akan jadi malam yang panjang bagi Sunoo. "Ayo ke taman hiburan, hyung." 

Niki menatap Sunoo sekilas. "Aku marah, kau tahu?" Sunoo tersenyum. "Maaf hyung." Sunoo mencium tangan Niki, ia tahu Niki marah tapi Sunoo sungguh lelah, ia tidak ingin berurusan dengan Niki, ia ingin sendiri hanya untuk malam ini namun Sunoo takut mengatakannya.

Mobil coupe biru itu terparkir di depan sebuah taman, Niki mematikan mesin mobil dan langsung menurunkan jok Sunoo duduk. "Hyung, bisa kita jalan sebentar?" Sunoo mengalungkan tangan ke leher Niki sambil tersenyum. "Ya, hyung?" Rengek Sunoo manja. Niki akhirnya tertawa dan mencium bibir Sunoo.

"Haha, baiklah." Sunoo segera keluar setelah Niki menjauh darinya. Hatinya terasa sakit, lututnya lemas, matanya panas.

Niki menggenggam tangan Sunoo dan mereka mulai berjalan. Di taman itu, di sore hari, dimana tidak banyak orang di sana.

Sunoo balas menggenggam tangan Niki, tatapannya kosong, telinganya rasa tuli menjadikan ia tidak mendengar apapun perkataan Niki. Matanya memandang jauh ke depan, di luasnya taman itu, pemandangan sore hari yang indah di musim gugur, untuk kesekian kalinya Sunoo merasa lubang di hatinya semakin dalam dan membesar.

Sunoo memeluk tangan Niki, mereka berjalan dengan Sunoo menyandar pada bahu Niki. Hanya salah satu di antara mereka yang benar-benar bahagia.

TO BE CONTINUE

Into the Dark Side | SunSunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang