Di pagi yang cerah kerumunan massa terjadi di lapangan sekolah, lapangan luas menjadi lautan manusia. Wajah-wajah pucat terpancar di seluruh tempat, ketakutan menyergap. Aroma menguar mengganggu indera penciuman mengundang banyak insan berdatangan.
"Ada apa? Kok semua orang pada ke sana." Clara Ayuda Pratama menatap penuh penasaran ke arah anak-anak berlarian menuju satu titik.
Tanpa aba-aba pemuda dengan tulisan OSIS di dada sebelah kiri berlari mengikuti orang-orang.
"Rev tungguu....!" Teriak Clara, kaki berlari mengejar seorang pemuda merupakan ketua OSIS, sepupu dan satu kelas dengannya.
Berbondong-bondong semua orang berlarian ke tempat yang sama, sisi kanan dan kiri Clara penuh oleh manusia-manusia juga kepo terhadap suatu hal mengganjal di hati.
"Ada apa ini?" Gadis bernama Clara berdiri di antara ratusan orang. Ia kesulitan pergi ke inti permasalahan, berada di tempat jauh dari pusat susah bernafas di rasakan. Clara berharap ada seseorang yang menjelaskannya tentang apa yang telah terjadi.
"Di sana ada mayat, katanya dia anak kelas 12 A1 IPS." Terdengar percakapan salah satu siswa sekolah SMA Gloriacastra berjarak satu anak di sebelah kiri Clara.
"Siapa namanya?" Teman di sebrang mengajukan pertanyaan.
"Kalau gak salah namanya Jia." Sebut pemuda berkacamata, kutu buku, mengumbar aura jenius.
Sontak kepala Clara teroleh ke samping, mata membelalak sempurna, satu huruf keluar dari pemuda itu mengunci mulut."J-jia? Gak mungkin itu Jia sahabat gue."
Lemas menghantui Clara, peluh-peluh dingin mengucur, pikiran tak sedap muncul secara dadakan.
"Gak! Gak mungkin itu Jia, itu pasti bukan Jia!" Kalimat bantahan keluar. Sekuat tenaga Clara berlari menerobos kerumunan, tekad melihat menggunakan mata kepala sendiri kian meningkat. Antara benar atau tidak harus di pastikan terlebih dahulu.
Terduduk pasrah di tanah, jantung berhenti berdetak, lolos air mata di pelupuk. Semuanya terasa gelap kala melihat tubuh Jia penuh darah, mata terpejam kuat, kulit pucat seperti tak teraliri cairan kental berwarna merah. Segunung rasa sakit menerjang kuat menghampiri tubuh ringkih sosok Clara Ayuda Pratama.
"JIAAAAA!" Pekik di iringi tangis histeris menutup kedua telinga pecah di lapangan di kelilingi pagar manusia.
Sesak menusuk dada, melihat jelas menggunakan bola mata sahabat terbaik meninggal mengenaskan di lapangan, darah merembes ke seluruh pakaian menjadi luka paling sakit terasa di dada, segenap kebahagiaan luntur dalam satu kedipan mata, ancang-ancang menghabiskan waktu bersama seharian musnah.
Putaran kenangan bersama sosok terbujur kaku di tutupi koran bergerak di benak. Seluruh warna menghidupi persahabatan antara Clara dan Jia hilang tanpa bisa di cegah.
"J-jiaaa!" Tubuh Clara bergetar, basah terasa di kedua tangan, menusuk tajam pedang ke lubuk hati melihat kenyataan pahit menimpa Jia.
Usapan lembut menyapu punggung gadis terduduk lemas di samping jasad sahabat sendiri.
"Jia kenapa lo ninggalin gue, kenapa lo bisa kayak gini, siapa yang bikin lo begini, bilang sama gue!" Teriak Clara tak peduli tentang semua hal. Rasa sakit mendatangi terlampau besar, dunia menjadi suram.
Tangan Clara mencoba meraih tubuh telah berhenti melakukan pergerakan. Sebuah tangan kekar mencegah.
"BIARIN GUE BANGUNIN DIA. DIA GAK BOLEH PERGI, GUE GAK MAU DIA PERGI!" Bentak Clara penuh air mata.
"Lo jangan gila, dia udah mati, orang mati gak akan pernah hidup lagi!" Sentak Revan Lorenza ketus, garang dan tegas.
"Clara, tenangin diri lo." Steven, pemuda itu tak berhenti mengusap punggung gadis hancur lebur oleh berita melanda satu sekolah. Steven mencoba menguatkan gadis memiliki hubungan cukup kental dengan korban meninggal mengenaskan di depan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatamorgana
Fiksi RemajaMati di raga yang hidup merupakan fenomena paling menyakitkan yang pernah ada~