Hari itu, senin pagi, kampus masih lengang, mahasiswa di sana bisa dihitung jari. Di sini, Irene bersama tekad bulat tak terbantah siap menghantam Seulgi dengan puncak dari isi hatinya, tidak lain tidak bukan, putus. Nggak mau berhubungan asmara lagi sama dia. Nggak mau sayangin Seulgi sementara Seulgi mirip brengsek sedap dihajar. Nggak mau bodoh tunggu jemputan hantu pagi-pagi. Nggak mau bodoh terima dan sangkal segala kekolotan dan betapa nggak bertanggung jawabnya Seulgi pada status mereka berdua.
Irene pikir matang soal itu, meski cobaan di hatinya berulang kali luluh-lantak karena ya, demi Tuhan Irene sayang Seulgi, banget.
Tapi memang ada cinta yang lebih banyak sakitnya kayak gini? Kalo ada ya bodoh, macam Irene.
Irene pergi ke fakultas teknik, bela-belain buang gengsi pagi-pagi, usaha sekali ke fakultas di paling ujung kampus cuma buat bilang, "Gi, kita putus ya.." Sama tetesin airmata sakit hati dominan tegar karena jujur aja Irene telah siap akan konsekuensi kehilangan Seulgi. "Gue capek banget.."
Muka tegang Seulgi terpapar memuaskan di mata Irene, bukti setidaknya Irene bisa senang karena dia masih merasa pacar. Seulgi setidaknya kasih bentuk protes dan tidak sukanya. Cuma sayang banget, di mana rasa menghargainya yag dulu Irene selalu rasain? Di mana Seulgi protektif yang Irene puja-puja dulu?
"Kenapa gitu?" Seulgi lepas pena dan penggaris di tangan, doi lagi buat denah dan Irene muak lihat itu, lihat Seulgi si paling kampus. Saking hafalnya titik lokasi manusia sipit itu, Irene jadi tau banget Seulgi di sini.
"Lo bego apa gimana?" Napas anak Papih Jay menguar nggak nyangka. Dahlah, dia benci orang nggak peka, nggak sadar salahnya di mana. Irene lekas buka ponselnya, kasih lihat catatan panggilan telepon terakhir kali sama obrolan whatsapp yang berdebu saking lamanya tak saling nyapa. "Lo liat pake mata dan hati ya Gi! 2 bulan terakhir gue yang selalu telepon, gue yang selalu ngechat, gue yang selalu nyariin lo sampe sini, sampe harus buang malu tanya ke tongkrongan cuma buat nyari lo tau nggak?!"
Untung kampus masih sepi, mahasiswa masih dua tiga orang di luar kelas, nggak menyadari emosi dari nada sampe tangis kejernya Irene. Saking nggak sanggupnya, Irene tutup mukanya sendiri biar nangisnya nggak semakin jadi. Mirip banget anak kecil, ditinggal teman mainnya.
"Rene.."
"Stop Gi!" Irene rasa-rasanya mau jambak Seulgi, pukul muka dia, tampar pipi itu, biar tau juga rasa nyeri berbulan-bulan yang si sipit ini ukir di dalam hati. Tapi Irene memang selalu bodoh buat Seulgi, lagi-lagi nggak bisa, dia sayang Seulgi masalahnya. Iya silakan hakimi kebodohannya, Irene memang harus mengakui fakta ini. "Gue nggak bisa pacaran sepihak kayak gini. Gue capek! Gue pacaran biar nggak seutuhnya kesepian. Gue terima lo, karena gue suka lo, Gi!"
"Rene sori.."
Muak di wajah bener-bener menyala, Irene geleng, "Lo nggak usah minta maaf lagi, karena setelah ini, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi. Gue benci banget sama lo!"
Irene aslinya cinta, kok. Tapi akal pikirannya masih jalan. Kalo nggak jodoh, pacaran awet pun bukan jaminan. Jadi Irene langsung berdiri, bergegas tarik langkah meski Seulgi berusaha menahan dan jelasin sesuatu yang bagi Irene di masa jenuh ini adalah omong kosong.
Setelahnya hidup Irene memang hampa, ya setidaknya keadaan baru ini buat Irene nggak mati nunggu harapan dan kata hiasan penghibur hati dari Seulgi. Tersakiti tapi terbiasa. Anak kesayangan Papih Jay tetap jalani kesehariannya kayak biasa, minus sosok sipit favoritnya, dulu, tapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
That Should Be Me!
FanfictionSeharusnya Seulgi. Iya, Seharusnya dia yang bisa bahagiain Irene.