Bab 12. Resah

292 33 5
                                        


Senyum Rayhan terkembang. Abi Gista menyambut keluarganya dengan baik. Setelah berbincang santai, mereka berkeliling pondok Al Furqon. Rayhan bersama Abi Gista melihat pondok Putra. Lala, Desi dan Aisha dipandu Gista melihat Pondok putri yang terletak di belakang masjid. Santri santri istirahat menanti sholat dzuhur dan makan siang. Lalu mereka sholat saat adzan dzuhur berkumandang. Dari kejauhan Gista melihat Uminya sedang mengobrol dengan Ibu Rayhan.

"Terimakasih ya Allah, sudah menjawan doa-doaku selama ini..."

Setelah makan mereka melanjutkan makan siang di belakang rumah Abi gista yang ternyata ada kolam kecil. Hawa sejuk dan semilir angin Banjarnegara membuat suasana semakin hangat.

"Enak ya kalau Mas Ray nikah sama Mbak Gista, aku bisa mondok disini."celetuk Desi.

"Kamu mau mondok?"tanya Aisha.

"Ga tau."Desi tertawa dengan pemikiran absurdnya. "Kayaknya seru mondok. Tapi kalau ga betah gimana? Kalau kangen Ibu gimana?"

Lala mendengus, "Ya udah ga usah mondok. Anak manja kayak kamu, ga bakal betah mondok."

Kalimat Desi serasa menyindir Aisha. Entahlah, semua yang ada pada diri Aisha, salah di mata Lala. Ketika ia sudah belajar menyapu, mencuci piring, mengepel, memasak, masih saja salah di mata Lala. Dari awal kedatangannya, Aisha susah merasa Lala tidak manyukainya. Tapi Aisha juga tidak mempermasalahkan, ia cuek saja. Menganggap Lala tidak bicara apa-apa.

Jam dua siang mereka pulang. Sepanjang jalan Yati hanya diam. Padahal biasanya sesekali tertawa atau menimpali nasehat pada Aisha, Desi, dan Lala. Rayhan semakin bingung tatkala Yati tidak keluar untuk makan malam. Hingga pukul sebelas malam Rayhan masih menyetrika pakaiannya, Yati tidak keluar. Rayhan sangat khawatir. Maka ketika jam tiga Yati sudah bangun, Rayhan langsung menyusul ke dapur.

"Ibu kenapa?"

Yati terkejut mendapati Rayhan menyusulnya ke dapur. Ia mencoba tersenyum.

"Ibu ndak apa-apa."

"Tapi dari perjalanan pulang kemarin, Ibu diam terus, sampai ga makan malam juga."

Ternyata Rayhan peka...

Yati hanya mencoba tersenyum. Namun matanya berkaca-kaca. Rayhan melihat Yati seperti akan menangis. Ia mencoba menyelami mata Ibunya. Mencari jawaban mengapa Ibunya diam saja. Namun nihil, Rayhan tidak menemukannya.

Tiba-tiba ..."Ibu tidak mau Rayhan menikah dengan Gista?"

Raut wajah Ibunya terkejut. Namun Yati  berusaha mengontrolnya. Justru air mata mengalir di kedua matanya. Bibirnya masih bungkam. Yati berusaha meraih kursi dan duduk. Rayhan buru-buru memgambilkan air putih.

Yati menatap Rayhan yang duduk di hadapannya masih dengan air mata, "maafkan Ibu, Ray."

Rayhan lemas. Jawaban Ibu membuatnya linglung. Lalu Rayhan membawa Yati dalam dekapannya. Rayhan sangat jarang melihat Ibunya menangis. Dan kini, melihat Ibunya menangis, Rayhan merasa menjadi anak tidak berguna. Bagian mana yang membuat Ibunya terluka sedemikian dalam hingga menangis dalam pelukannya.

Mereka terdiam hingga cukup lama. Saling menguatkan dalam dekapan. Agenda Yati untuk masak, gagal. Biarlah anak-anak makan dengan nasi goreng nanti, pikirnya.

"Ibu menyukai Nak Gista, tapi Ibu berat kalau kamu harus tinggal di Banjar. Tak bisakah disini saja, Ray? Perasaan Ibu seperti ketika Ayahmu meninggal dulu. Maafkan Ibu, Ray. Ibu tidak ingin menghalangi kebahagiaanmu. Tapi bisakah Gista yang diajak kesini saja?"

Rayhan terpaku.

Diantara dua jalan...

Mereka tidak menyadari sepasang mata dan telinga yang ingin ke kamar mandi, mendengar obrolan mereka.

Aisha bukan AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang