Bab 15. Perjodohan

304 44 4
                                    

Rayhan memesan nasi dan ayam penyet, sementara Aisha memesan bakso. Kantin Rumah sakit sedikit lenggang karena bukan jam istirahat maupun jam besuk.

"Jangan terlalu sering makan bakso, Sha. Ga bagus buat kesehatan."nasehat Rayhan.

"Aisha jarang kok, Mas. Dirumah Ibu masak makanan sehat terus."jawabnya tanpa melihat mata Rayhan.

Rayhan tersenyum, "Oh iya, menu Ibu 'kan 4 sehat 5 sempurna. Tiap hari double protein sejak punya warung."

Aisha hanya menanggapi dengan senyuman. Suasana menjadi sedikit canggung. Baik Rayhan maupun Aisha diam dengan pikiran masing-masing.

Rayhan mengamati Aisha yang makan dengan lahap. Jilbabnya tampak melorot, berkali-kali Aisha menarik ke belakang. Mie yang di mangkok bakso sudah habis, menyisakan bakso saja.

"Kamu cantik pake jilbab, Sha. Jangan pernah dilepa--"

Uhuk uhuk..

Rayhan buru-buru mengangsurkan air putih. "Hati-hati dong, Sha. Bisa bahaya kalo kesedak lama"omel Rayhan.

Aisha tidak menjawab, namun menatap wajah Rayhan sejenak. Lalu menggeleng. Rayhan tidak paham maksud Aisha.

"Jilbabnya jangan dilepas dimanapun kamu berada ya, Sha. Ibu pasti sudah menasehati kamu banyak hal. Tapi Mas Ray cuma mau satu hal, jaga kehormatan dirimu. Jangan sampai ikutan trend anak kekinian, akhirnya salah pergaulan, bisa kebablasan. Bukan cuma kamj yang malu. Tapi Ibu dan keluargamu juga. " ucap Rayhan tenang, Aisha mengangguk.

Karena kamu terlalu cantik, Sha. Aku takut banyak laki-laki mengincarmu...

"Iya Mas Ray."Aisha mencoba tersenyum.

"Jangan dengerin omongan tetangga. Aisha tau kan Ibu, Mas Ray, Desi, Lala, semua sayang Aisha."

"A-Aisha pengen pulang ke Jakarta Mas Ray."

Rayhan tercengang, hingga suapan yang hampir masuk mulutnya, menjadi mengambang. Butuh beberapa detik dirinya mencerna perkataan Aisha.

"Kenapa Sha? Kenapa mendadak?"tanyanya.

"Aisha kangen Om Irfan, kangen rumah Mama, kangen bibi, kangen semua." Aisha tidak meneteskan air mata. Namun suaranya yang pelan dan serak, menjadi tanda bahwa gadis itu sedih. Jika dulu ia membawa Aisha kepelukan, sekarang tidak. Ia hanya tersenyum, mencoba menyalurkan ketenangan.

"Tunggu Om Irfan menjemput ya. Kalau Om Irfan udah jemput, Aisha boleh pulang Jakarta."hanya itu jawaban yang bisa Rayhan katakan untuk menenangkan Aisha.

Entah kapan, Sha. Aku juga tidak tahu.

Kebisuan melanda. Bakso dan nasi sudah habis. Rayhan memesan es krim Vanila coklat agar suasana hati Aisha membaik.

"Seandainya Om Irfan ga jemput Aisha gimana?"

Pertanyaan Aisha menohok hati Rayhan. Rayhan bisa merasakan kesendirian Aisha, tanpa keluarga kandung, tanpa orang terdekat. Tiba-tiba Rayhan bisa merasakan kesedihan Aisha.

"Jangan berandai-andai, Sha. Kalau Om Irfan tidak menjemput, bearti keluargamu disini. Kami akan selalu ada untukmu, Sha." Rayhan berharap kata-katanya bisa menenangkan Aisha.

Aku juga ga tau takdir kamu disini atau di Jakarta, Sha.

Mereka diam hingga Rayhan mengajak Aisha kembali ke ruangan Yati. Aisha teringat satu hal, "Mas buku Aisyah sudah kubaca. Bagus banget. Aku pengen kisah yang lain. Tolong carikan ya."

Rayhan tercengang, anak kelas 6 SD menamatkan buku tebal kisah Aisyah.

"Nanti Mas carikan."

***

Rayhan mengantar Aisha, Desi dan Budhe Aini, ke rumah pakdhe Aswan. Selama Yati Opname, mereka akan tinggal sementara waktu disana. Budhe Aini tentu saja sumringah. Karena Agni, anaknya yang kelas 1 SMP ada teman dirumah.

"Ga ada teman kantor yang cantik, Han?"tanya Budhe Aini.

"Ya ada Budhe."

"Terus kenapa tidak ada yang nyantol."

Rayhan tertawa, "Yang cantik belum tentu sesuai kriteriaku sama cocok dengan Ibu, Budhe."

Aini ikut tertawa. Sejak dulu mengobrol dengan Rayhan memang menyenangkan. Rayhan bisa mengimbangi omongannya dan pandai menempatkan diri.

"Han, tanah dekat rumah Budhe itu dijual. Ada tanaman buah, kayu sengon, macam-macam lah. Investasi gih, mumpung belum punya tanggungan."

"Wah ... udah habis buat di silver ini, Budhe." Rayhan menunjuk mobilnya. Setelah ia tidak melanjutkan taaruf dengan Gista, Rayhan membeli mobil Avanza cash dan belajar menyetir. Bukan mobil mewah memang, tapi sangat bermanfaat.

"Dijual murah karena si pemilik terlilit hutang gitu. Pinggir jalan raya, cocok kalau buat buka warung makan apa resto gitu." Aini masih terus meyakinkan Rayhan.

"Minta berapa orangnya Budhe?"

Pinggir jalan yang Budhe Aini memang strategis. Jalan besar dan ramai. Penduduk sekitar juga padat sekali. Dekat wisata kebun buah juga.

"Mintanya 250 juta, Han. Padahal luas loh."

Uang Aisha ada kalau segitu...apa di invest ke tanah ya?

Irfan juga tidak pernah mengecek. Nanti coba rembugan sama Ibu dulu.

Ketika melewati tanah itu, Aini menunjukkan. Memang benar kata Aini, tanahnya strategis dan ramai. Banyak anak muda yang nongkrong.

"Rayhan kirimin kontaknya yang jual Budhe. Kalau Ibu setuju nanti Rayhan mau nyoba, siapa tau jadi makelar tanah sukses."kata Rayhan lalu tertawa.

Desi menimpali, "emang Mas Rayhan punya uang sebanyak itu?"

Rayhan hanya tersenyum kecil.

Uang Aisha, smiga buat masa depan dia...

***

Malam ini yang menjaga Bu Yati adalah Rayhan dan Pakdhe Aswan. Besok budhe Aini dan Rayhan karena Aisha dan Desi sekolah. Rayhan masih berharap Ibunya bisa dirawat dirumah esok hari. Namun harapannya belum terkabul. Dokter mengatakan, HB Yati sangat rendah dan butuh transfusi darah.

Rayhan memijit tangan dan kaki Yati. Sejak Kost dua minggu lalu, Rayhan belum memijit lagi. Padahal biasanya hamoir setiap hari Rayhan memijit Yati.

"Kalau kamu ndak ada, Desi sama Aisha yang mijit. Tapi belum bisa seenak kamu."

Rayhan terkekeh, "bilang aja Ibu kangen pijitan Rayhan. Kenapa ga telfon Rayhan minta dipijit sih, Bu. Kenapa harus sakit dulu."

"Tuh kan, omelanmu persis Bapak."canda Yati.

"Kan Rayhan anaknya, Bu."

Pakdhe Aswan sedang menunaikan sholat Isya'. Sebenarnya Rayhan sudah meminta Pakdhe untuk pulang saja, tapi Pakdhe menolak.

Setelah Pakdhe Aswan masuk, keheningan melanda.

"Han, Ibu tuh sayaaaang banget sama Aisha. Rasanya ndak pengem Aisha pergi. Ndak pengen juga Aisha diambil keluarganya. Tapi kalau waktunya diambil ya gapapa sih. Han, kamu nikahin Aisha ya? jadikan dia anak Ibu."

Rayhan sungguh terkejut dengan permintaan Ibunya. Sebisa mungkin bersikap tenang ditengah gejolak hatinya.

"Bu, menikah itu ga main-main. Aisha masih kecil, masih usia sekolah."

"Ya gapapa, Han. Bentar lagi 14 tahun kan? Bisa sidang di pengadilan Han. Atau kalau enggak, bisa siri dulu."

"Ibu ini permintaannya ada-ada saja."jawab Rayhan, dirinya masih heran dengan pemikiran Yati.

"Dipikir-pikir dulu aja, Han. Ibumu ada baiknya pasti menyuruh kamu nikahin Aisha."kata pakdhe Aswan.

Rayhan terpaksa mengangguk. Dalam hati tertawa dan heran.

Segitu sayangnya Ibu sama Aisha...

***

Gimana bab ini?
Yuk votenya jangan lupa ya...^_^

Aisha bukan AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang