1. Namanya Aisha.

595 70 5
                                    


"Saya minta tolong sekali, Bu. Cuma Ibu dan Rayhan yang selama ini saya kenal baik. Untuk masalah keperluan Aisha, makan, baju, dll saya akan transfer setiap minggu."

"Saya mengejar waktu. Ayah saya, kakek Aisha sedang kritis. Saya harus kembali ke Jakarta secepatnya."

Yati terdiam lalu menarik nafas.

"Dia bukan anak yang diculik kan?"

Rayhan tertawa dalam hati. Ibunya memang wanita jawa tulen yang lugu.

Irfan terkekeh. Dari sederetan peristiwa yang menjungkirbalikkan hidupnya, Ibu Rayhan berhasil membuatnya tertawa.

"Bukan bu. Dia keponakan saya. Ini foto keluarga besar saya dan Aisha. Jika ada waktu luang, saya akan menceritakan silsilah kami."

"Berapa lama kamu menitipkan dia?"

"Secepatnya."

"Yowis, tinggal aja anak cantik itu. Biar nemeni Desi disini."

Irfan mengangguk. Namun Rayhan gelisah. Irfan adalah anak konglomerat yang dikenalnya di kampus. Instingnya mengatakan ini berbahaya. Maka ketika Rayhan mengantar Irfan ke halaman, ia  bertanya.

"Dia ga membahayakan keluarga gue kan?"

"Ga. Gue jamin. Gue berharap, dia jadi keberuntungan buat keluarga lo. Ini kartu Atm, KK, KTP asli ortunya, dan surat-syrat penting berharga. Keluarga gue sedang tidak baik-baik saja. Thanks udah nolongin gue."

"Gue baru berhasul narik 5jt buat keperluan dia. Gue janji bakal rutin transfer setiap minggu." Irfan menyerahkan uang pada Rayhan.

"Gue juga ga bermaksud rendahin Ibu lo, yang 1 juta gue titip buat Ibu. Nanti gue wa lagi."

Rayhan menatap kepergian Irfan lama. Hatinya diliputi gelisah melihat gelagat Irfan. Namun Rayhan meyakinkan diri, semua akan baik-baik saja.

_________________

Sudah satu jam berlalu sejak Irfam pamit, namun gadis itu tidak bicara apapun. Tatapannya kosong, menyedihkan, dan gelisah. Semua tanya yang diajukam Yati tak dijawab. Hanya anggukam dan gelengan kepala. Nasi kecap dan telur ceplok yang dihidangkan Yati tak tersentuh.

"Bu, ini tadi dari Irfan buat keperluan dia. Ada 5jt."

Yati melongo, "Ya ampun, Ibu dari tadi mikir, apa anak ini mau menu desa yang tiap hari Ibu masak? Kalau gini kan Ibu ga pusing mikir mau ngasih makan anak orang."

"Kata Irfan, yang 1juta buat keperluan Ibu."

Sekali lagi, Yati melongo, "Ya Allah, terimakasih, semoga ini bukan uang haram. Kebetulan beras dan macem-macem habis."

Lala tertawa mendengar Ibunya.

Sementara Desi, si kecil yang ceria bersorak, "yeee ... besok bisa ke pasar. Desi mau beli es krim."

Rayhan dan Yati ikut tertawa. Bolehkah Rayhan menganggap gadis itu adalah perantara rejeki dari sang maha kuasa?

"Han, coba bujuk biar mau makan. Ibu dari tadi bujuk dia ga mau makan. Mungkin dia ga mau telor ceplok."

"Dari tadi cuma diam. Ga ngomong apa-apa, cuma natap pintu terus."

Rayhan bangkit dari kursi sederhana peninggalan bapak yang sudah pudar warnanya. Lalu duduk disamping gadis itu.

"Hai anak cantik, om irfan lagi pergi dulu, kalau urusannya sudah selesai, nanti bakalan jemput kamu. Nama kakak Rayhan, itu adekku Lala dan Desi. Kalau kamu kamu namanya siapa?"

Anak itu bergumam, tidak terlalu jelas bagi Rayhan.

"Aisyah?"

"Aisha. A-s-h-i-a."anak itu mengeja.

"Oh, Ibu panggil Ais aja kalau gitu ya. Biar gampang." Kata Yati dengan ceria.

Lala dan Desi kembali tertawa.

"Sekarang bujuk dia makan, Mas Ray. Kasihan udah jam 11." Kata Lala adik Rayhan yang masih duduk di kelas sembilan.

"Ya sudah. Biar Mas Ray yang bujuk dan nemenin Aisha. Ibu silahkan kalau mau istirahat."jawab Ray.

"Ayo makan dulu. Biar Aisha bisa bobok malam ini. Kasihan perutnya kalau lapar."

_______________

Tiba2 mncul ide cerita ini.

Tes dulu ya, jangan lupa Vote dan koment.

24.2.24

Aisha bukan AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang