Warning: Jangan baca part ini sambil makan.
Daiyan tak habis pikir pada anak pertamanya yang BAB di celana. Tadi, saat Daiyan akan mengajak Arkan untuk ke toilet, ia malah menangis keras. Hingga banyak orangtua murid yang menatapnya penasaran. Bahkan beberapa guru Arkan menghampiri mereka dan berakhir Arkan tantrum karena malu. Belum sampai di situ, Gio yang melihat kakaknya menangis kencang jadi ketakutan dan ikut menangis. Sempurna sudah keriwehan Daiyan saat itu.
Solusinya? Daiyan langsung menggendong kedua anaknya untuk masuk ke dalam mobil dan membawa mereka pulang dengan paksa. Meskipun pada akhirnya mobil Daiyan beraroma tai, ia akan mengurus itu nanti. Dan jangan lupakan botol minum Tupperware milik Arkan yang entah jatuh ke mana. Semoga Dara tidak mencarinya.
"Diam semuanya. Papa lagi emosi," ujar Arkan sambil mencoba untuk menarik nafas dan menghembuskannya untuk mengatur emosi. Sayangnya bau tak sedap langsung tercium hingga membuatnya kembali emosi. Ia langsung saja tancap gas, berharap segera sampai di rumah agar bisa menghirup udara segar.
"Papa ... bau." Gio mulai tidak tenang di kursinya. Sementara Arkan yang menjadi tersangka hanya bisa menunduk takut. Untung saja jalanan masih cukup lenggang, sehingga mereka bisa cepat sampai rumah.
"Gio masuk dulu sana. Papa mau membasmi bau tak sedap ini," ujarnya. Gio langsung mengangguk hormat sambil menutup hidungnya dan berlari ke dalam rumah yang sebelumnya sudah Daiyan buka.
"Ayo." Daiyan menggandeng lengan Arkan dan mengajaknya masuk. Sedikit lambat karena Arkan kesulitan berjalan sebab ada ganjalan di pantatnya. Takut jatuh katanya.
"Kenapa bisa eek di celana? Enggak ada toilet, kah, di sekolah?" tanya Daiyan sambil membersihkan BAB Arkan yang masih menempel di bagian belakang tubuh anak itu.
Arkan hanya diam dengan bibir mencebik menahan tangis. Menyadari itu, Daiyan mendesah lelah. "Arkan takut ke toilet sendiri?" tanya Daiyan lagi.
Anak laki-laki yang belum genap 5 tahun itu mengangguk pelan.
"Kenapa enggak minta antar bu guru?"
"Arkan malu," cicitnya pelan.
Lagi-lagi Daiyan hanya bisa mendesah lelah. Ia meneruskan kegiatannya untuk membersihkan sisa-sisa kotoran Arkan. Setelah selesai, Daiyan menyuruh Arkan untuk segera keluar dan memakai pakaian rumahnya. Sementara Daiyan masih harus berjuang di toilet.
Pada akhirnya Daiyan memilih membuang celana dalam Arkan dan hanya mencuci seragam sekolahnya.
***
"Yang, kamu tau nggak tadi Arkan berak di celana pas sekolah," ujar Daiyan yang bergelanjut manja di dada Dara. Hidungnya menghirup aroma keringat yang menguar di tubuh Dara. Tangannya tak tinggal diam. Ia meremas pinggang Dara yang telanjang. Daiyan heran, meskipun sudah melahirkan 2 anak, tubuh istrinya bisa dibilang tetap mungil. Sama seperti saat Dara masih gadis. Apa jangan-jangan selama ini Dara merasa stress dan selalu kelelahan sehingga lemaknya tidak mau mampir di tubuhnya?
Dara terkikik pelan dengan nafas yang masih memburu. Ia mengusap-usap rambut Daiyan yang lembut, salah satu kegiatan favoritnya. "Terus gimana?" tanyanya.
"Ya dia nangis waktu ketahuan. Malu katanya." Tangan Daiyan beralih mengusap bagian tubuh Dara yang lain, membuat wanita itu melenguh pelan. "Aku gendong aja akhirnya. Tapi, ya, mobil kita bau tai."
Dara sontak langsung tertawa. Tawa yang terdengar sangat lembut di telinga Daiyan. Ia mengulum senyum. Lagi-lagi ia sangat beruntung bisa memiliki Dara. Teringat bagaimana perjuangannya dulu untuk meyakinkan Dara bahwa ia bisa bertanggung jawab dan bersikap dewasa meskipun usia Dara lebih tua darinya.
Usia Dara 2 tahun lebih tua dari Daiyan. Tapi, postur tubuh Dara terbilang mungil ditambah wajah baby face yang membuat Dara sama sekali tidak terlihat tua. Awal mereka berkenalan, Dara memang cukup ramah. Senyum manis dan suaranya yang lembut saat menjelaskan salah satu produk di showroom tempatnya bekerja saat itu, membuat Daiyan tak bosan lama-lama memandangi Dara. Daiyan jatuh cinta, tepat saat Dara tersenyum lebar ketika menatapnya.
"Gimana kerjaanmu di kantor?" tanya Daiyan.
"Baik," jawabnya singkat.
Daiyan menghembuskan nafasnya pelan. Jawaban singkat istrinya itu tidak membuatnya puas. "Baik aja? Apa baik banget? Ada yang pengen kamu ceritain?" tawar Daiyan akhirnya. Sejauh berumah tangga dengan Dara, sepertinya Daiyanlah yang lebih cerewet. Dara tidak terlalu suka bercerita. Kecuali jika Daiyan bertanya, maka Dara akan menjawab. Sementara Daiyan, ia akan berbicara panjang lebar, bercerita apapun yang ia alami atau rasakan. Dan Dara akan selalu setia mendengarkannya dan merespon ceritanya meskipun hanya dengan 'hmm'.
"Enggak ada yang bisa kuceritain. Aku kerja doang di sana. Melayani pelanggan, nawarin produk, udah gitu aja."
Daiyan menghirup aroma tubuh Dara sekali lagi. Aroma yang sudah menjadi candunya sejak ia menikah. "Enggak ada yang naksir kamu, kan, di sana?" tanya Daiyan. Bukan hal yang mustahil jika akan ada laki-laki yang tertarik dengan Dara di tempat kerja. Entah itu teman kerja atau dari pelanggan. Daiyan saja dulu yang menjadi salah satu pelanggan, jadi kepincut dengan Dara.
Menyadari istrinya yang hanya diam, Daiyan mendongan menatap Dara yang tampak bimbang. "Kenapa? Enggak ada yang naksir kamu, kan?" tanya Daiyan sekali lagi.
Dara segera menggeleng. "Enggaklah. Mana ada laki-laki yang tertarik sama ibu dua anak gini," jawabnya.
Merasa tidak setuju dengan ucapan Dara, Daiyan langsung merubah posisinya. Kini ia berada di atas tubuh Dara, mengungkung Dara dan menatapnya intens. "Kamu tuh cantik banget tau. Kalau sama orang nggak kenal, pasti di kira masih gadis."
Dara kembali tertawa pelan, membuat Daiyan menelan ludahnya. "Kamu janji, ya, sama aku. Jangan kepincut sama laki-laki lain, apalagi yang lebih kaya. Aku janji abis ini aku bakal lebih semangat nyari kerja, biar kamu enggak perlu kerja lagi. Kalau perlu nanti kita sewa ART biar kamu enggak kecapekan ngurus anak-anak."
Dara tersenyum manis dan mengangguk pelan. Sedetik kemudian, Daiyan langsung mencium rakus bibir Dara hingga wanita yang berada di bawahnya itu melenguh.
Daiyan berhenti sejenak. "Sekali lagi, ya?" pintanya. Namun, sebelum Dara sempat mengangguk, suara tangisan di kamar sebelah membuat Daiyan mengumpat pelan.
"Mama....!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa Rumah Tangga
Literatura FemininaDaiyan menyerah. Pada akhirnya ia harus mengizinkan kembali istrinya untuk kembali bekerja sembari menunggu panggilan kerja untuknya sendiri. Kebutuhan ekonomi yang mendesak serta tabungan yang sudah menipis, membuat Daiyan harus bertukar peran deng...