Bagian 0: Kucing dan Badak

61 8 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kemungkinan besar, gedung 27 lantai ini bakalan hancur sebentar lagi.

Tadinya Aksa cuma tersenyum dan geleng-geleng kepala ketika salah satu pegawai magang menyampaikan berita itu sambil gemetar. Meski langit di luar sana memang mendung sejak pagi, kota mereka bukannya akan diterjang badai—ramalan cuaca di ponsel menunjukkan prakiraan hujan tidak sampai menyentuh angka lima persen. Namun kemudian, ia hanya bisa membeku dengan bibir terkatup rapat ketika menyaksikan sendiri kabar burung tentang angin ribut yang menyapu kantor depan.

"Jelas, kan? Clear ya, yang saya bilang tadi? Saya enggak akan mundur sampai dewan juri keluar! Enggak akan, tidak akan, pokoknya no, BIG NO!"

Itu dia.

Dari balik guci keramik raksasa, Aksa bisa melihat Dira—petugas front office yang malang—heboh melambaikan tangan sebagai isyarat menyerah sambil meminta sumber suara mematikan megafonnya. "Maaf ... mohon maaf sekali. Mohon maaf ya, Kak, tapi Ibu Komisaris sedang tidak di tempat."

Aksa memalingkan wajah pada staf kebersihan yang tiba-tiba bersembunyi di balik tubuhnya, mengkeret sambil memeluk gagang alat pel. "Pak, permisi, maaf ya, saya takut banget. Mbak yang pakai toa tadi dateng dadakan nyeruduk kayak badak."

Seraya mengangkat sudut bibir, Aksa mengambil satu langkah ke samping, membiarkan staf kebersihan itu berlindung di punggungnya. Lantas ia kembali meninjau bersama alis yang terangkat sebelah. Si Badak—sebagaimana orang-orang saling berbisik memberinya nama—tampak mendominasi kerumunan dengan bando yang dihias sirine; cahaya lampu merah dan biru bergantian menyorot dari sana.

"Lah? Memang saya nyari Ibu Komisaris? Udah dibilang, saya butuh ketemu sama dewan juri! Dewan juri kan banyak tuh anggotanya, minimal satu orang doang diajak ketemu masa enggak bisa? Kok jadi ribet begini ya, Mbak, urusannya?"

"Begini, Kak—"

"Sebentar. Sebentar, Mbak Dira. Gini, saya enggak mau marah-marah sama Mbak Dira loh. Serius. Saya minta tolong aja, bisa pertemukan saya dengan dewan juri? Enggak sampai sepuluh menit, no, bahkan enggak sampai lima menit! Kalau dewan jurinya di lantai 27 dan saya disuruh ke sana lewat tangga, enggak masalah! Saya jabanin biar mau seratus lantai sekalipun. Saya cuma perlu ketemu."

"Tapi, Kak, menurut prosedur—"

"Mbak, sejujurnya saya enggak suka motong-motong Mbak Dira tiap Mbak ngomong, tapi prosedur apa, sih? Tanya sama dewan juri itu, prosedur apa maksudnya? Kayak mereka yang paling patuh sama aturan aja. Lucu! Diketawain tuh sama Spongebob sampai giginya kering."

Dalam hitungan detik, hening.

Sorot mata Aksa menyisir penjuru lobi yang tampak menciut, bahkan sekuriti bergeming dan hanya bisa menunduk sambil menjaga jarak dari sumber keributan. Agaknya mereka berpikir bagaimana bisa seekor badak lepas dari kebun binatang terdekat. Kemudian, mungkin, tatapan memohon yang dilempar Dira pada Aksa ketika tak sengaja berserobok pandang adalah harapan terakhirnya agar badak itu bisa digiring keluar.

Yang lain mana? Aksa bertanya tanpa suara, sementara Dira hanya bisa bergeleng pasrah.

"Atau ... atau nih ... kalau salah satu dari dewan juri yang maha terhormat dan termuliakan itu enggak bisa ditemui, saya mohon dengan sangat, saya izin nyari salah satu karyawan sini."

Dira mendelik begitu si Badak Sirine kembali menyiapkan megafon layaknya senjata perang. Petir yang tiba-tiba menggelegar di luar sana seakan ikut menyambut bunyi nyaring tanda megafon aktif. Lantas, badak itu mendekatkan bibir pada corong seraya bersiap merapal kutukan selagi seluruh ruang menunggu penuh waspada.

"PERHATIAN! PERHATIAN!" teriaknya dramatis, dengan lagak pemain teater andal. "Tukang nyolong ide orang, Aksa Sadelinggam, keluar dari tempat persembunyian lo sekarang!"

Mungkin juga, gema langkah Aksa yang menghipnotis dan perlahan menapak lobi dramatis adalah cara terakhir agar atensi badak itu teralihkan. Senyum Aksa terbit. Pandangan matanya hangat tanpa sedikit pun sinar gentar.

"Tukang bikin onar, Nira Rasha Pratami, tolong keluar dari gedung sekarang."

Mungkin lagi, cerita ini memang harus dibuka dengan pertikaian besar antara seekor kucing sinis yang tak suka diusik dan badak mungil yang mudah membengis.


***


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasa AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang