Bagian 18: Kucing dan Badak

4 1 0
                                    

Ruang pertemuan Biro Hukum Pena Buana disergap sunyi pasca dua jam penuh menjadi saksi bisu silang pendapat antar pihak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Ruang pertemuan Biro Hukum Pena Buana disergap sunyi pasca dua jam penuh menjadi saksi bisu silang pendapat antar pihak. Hanya tersisa sejumlah staf peralatan yang sibuk merapikan lembaran para konsultan sembari menonaktifkan proyektor—benda itu masih memantulkan sejumlah artikel pada papan sebelum mendadak cahayanya lenyap. Ridha Utami sudah tak tampak entah sejak kapan, Marthina mengekori Radika sambil cepat-cepat pamit dan berbisik 'sampai nanti' sangat pelan, sementara Galih Adi baru saja meninggalkan ruang tanpa menoleh kanan-kiri, diikuti sebagian rekan Teknologi Informasi selagi sisanya masih tumungkul di kursi masing-masing.

Di telinga Aksa, gema suara yang bersahutan tak kunjung menghilang, sementara ia memangku tangan selagi tetap terduduk berusaha terus mencerna. Ia memalingkan wajah sedikit ketika Rasha menyentuh ujung sikunya. Bibir perempuan itu melengkung turun dan matanya menatap Aksa galabah.

"Kenapa, Sha?"

"Lo pernah denger kata-kata 'gosip itu cuma fakta yang tertunda'?" ujar Rasha pelan, lalu menghela napas panjang. "Kliping yang gue buat dibantu Winda, sebetulnya cuma susunan asumsi-asumsi yang kita sambungin satu-satu. Bahkan bisa dibilang, gue yang berusaha nyari alasan ... buat nyambungin semua gosip di sini supaya masuk akal. Gue enggak tahu kalau masalahnya lebih serius dari spekulasi."

Aksa mengangguk paham, bahkan kelewat mengerti. "Setahun gue kerja di sini, gue pun baru tahu dari Kak Ina kemarin-kemarin."

Tampak jelas dalam bayangan Aksa, vokal tegas Radika tatkala menuturkan kata demi kata. Detik itu, raut wajah Ridha Utami berubah getir dan gesturnya ketika mengangkat telapak tangan tampak semakin tak terbantahkan. Namun, Radika justru kian tertawa kecil alih-alih menutup mulut.

"Too obvious, Bu Ridha. Termasuk pengadaan mediasi omong kosong ini. Saya kira Pena Buana punya urusan lebih penting dibanding menjebak seorang penulis muda yang sibuk berkarya dalam permainan bisnis murahan."

"Mohon maaf, Pak Dika, sepertinya belum giliran Anda untuk buka suara—hanya jika memang ada giliran untuk yang tidak menerima surat." Ridha Utami mengusap jemarinya membentuk pusaran kecil.

"Buat apa izin? Lagi pula mediasi ini sudah terlanjur enggak berjalan semestinya, kan?" Aksa terlalu tegang untuk sekadar membalik tubuh ke belakang dan mempelajari ekspresi Radika, tetapi lagak bicaranya terdengar begitu tenang. "Jadi, karena sekarang sesi tanya jawab, saya penasaran. Pihak Pertama atas nama Ranggi Putri Duma, bagian mana dari unggahan anonim itu yang cuma tuduhan?"

Saat itu, pada garis pipi Anggi tampak kerut samar seakan dia berusaha keras menahan bibirnya agar tak tersenyum. Aksa tak mengira atmosfer ruang perlahan didominasi rasa segan. Para konsultan yang mengaku tegas akan menjadi mediator justru terbungkam, seolah tak berdaya atas kendali pertemuan yang tengah berlangsung. Lalu, Direktur Utama mengabaikan Komisaris yang berupaya menghalanginya bicara.

Rangkaian kalimat yang terucap antara satu sama lain memperjelas segala hal. Mengingatkan Aksa sekali lagi pada tujuan Literasi Lestari; rupanya keringat dan kerja keras Aksa hanya dianggap lelucon dan sungguh dipermainkan seenak sendiri. Sudah pasti, kelompok hiena yang sibuk cekikikan kemarin dulu sedang menertawakan keluguan Aksa sambil menghitung berapa banyak yang bisa didapatkan dari menipu karyawan bau kencur.

Rasa AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang