Sulit dipercaya bagaimana Rasha sudah duduk manis di lobi Pena Buana sebelum jam kerja berakhir, lengkap dengan kacamata hitam bertengger di pangkal hidung dan training suit senada. Gayanya bersedekap sambil bersandar pada salah satu pilar membuat Rasha hampir seperti mata-mata amatir yang sedang menunggu target. Ia meniup poni sekali, lantas cepat-cepat mengintip ketika bel lift berdenting.
Semoga ada dia.
Rasha mendesah ketika pintu lift kembali tertutup. Jelas sekelompok orang melangkah keluar dari sana, tetapi ia tidak melihat sosok dengan potongan rambut side blow nan khas itu. Hanya ada gerombolan office boy, seorang perempuan mungil, dan laki-laki berjaket indranila yang sibuk melihat ponsel. Padahal kalau mengingat jadwal temu mereka sebelum ini, seharusnya Aksa sudah di lobi sejak setengah jam lalu, selagi Rasha mengabaikan suara dalam kepala yang merengek minta pulang dibanding pegal-pegal berdiri menunggu.
Bagaimanapun, Rasha memutuskan menanti dan memperoleh izin petugas keamanan untuk tetap berada di tempat sambil memandangi kasuari yang entah sudah berapa hari memamerkan keelokan sambil menggoda si harimau seolah sengaja menantang hewan buas itu untuk memangsanya sampai habis. Sudut bibir Rasha terangkat sebelah. Kendati sudah berulang kali bertemu dan bahkan meski cuma patung, kasuari sangat pandai menipu sampai rasanya orang tak akan tahu dia adalah burung paling berbahaya di dunia.
Ia teringat Akhir. Rumah tua berkaki itu—tiga dari belalang dan satu dari kasuari—mungkin tampak mengenaskan jika sungguh ada di dunia nyata. Lalu, bukan sekadar cagak. Satu kaki kasuari yang menopangnya bukan pemberian cuma-cuma. Bungsu tidak mungkin ketakutan dan menangis histeris kalau Akhir memang mendapatkan kakinya sebagai hadiah.
"Loh? Mbaknya yang biasa sama Aksa, kan?"
Kemudian, suara mengejutkan itu tidak mungkin asal menyapa kalau tak mengenali wajah Rasha.
Sebelah alis Rasha terangkat saat ia mengintip dari balik kacamata hitam dan menemukan laki-laki berjaket indranila yang tadi dilihatnya. Dia tersenyum, mengangguk sopan sebelum kembali berujar ramah. "Bener, kan? Saya sering lihat Mbak di sini, bengong nungguin Aksa beres ngantor."
"Oh ... hehe, iya ... hehe," kekeh Rasha canggung dan tangannya spontan mengusap tengkuk ketika menyadari ada satu orang lagi di belakang si Jaket Indranila. Itu perempuan mungil—juga yang baru dilihat keluar dari lift—tampak lesu seraya memaksakan senyum.
"Mau nunggu Aksa juga hari ini?" tanya si Jaket Indranila santai, lalu meletakkan telapak tangan di dada sebelah kiri dan sedikit membungkuk. "Sebelumnya, salam kenal. Saya Lino, senior tapi temen deket banget lah sama Aksa. Kalau dia Shilla, pantarannya Aksa."
"Eh, halo. Saya ... Rasha." Entah kenapa ia ikut memberi salam dengan gestur yang sama, lantas meringis kikuk. Netranya diam-diam mengarah pada si Mungil seraya mengangguk paham.
"Rasha as in 'rasa'? Perasaan?"
"Ras-ha, ada 'h' di tengahnya."
"Oh, unik juga," senyum Lino.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Aksara
General FictionPagelaran Bulan Bahasa terbesar tahun ini, Literasi Lestari, telah resmi dibuka! Ratusan peserta dari penjuru negeri bersaing untuk memperoleh posisi pertama dan memperebutkan hadiah utama. Masalahnya, kompetisi bergengsi itu malah jadi medan tempur...